Menulis Cerpen Berdasarkan Kisah Nyata
AM for everyone
Pengembaraan Seorang Laksana
AM for everyone
Kisah nyata kehidupan bisa dituangkan dalam berbagai bentuk karya seni, baik bersifat verbal maupun visual. Hasilnya sebagaimana sering kita temukan di berbagai dunia seni, misalnya seni lukis, fotografi, seni audio visual, seperti sinetron, kisah nyata, karya sastra, biografi, dan lainnya. Karya sastra banyak yang bersumber pada kisah nyata, bahkan yang disusun berdasarkan kisah nyata menjadi biografi, riwayat hidup, dan mungkin kisah perjuangan bangsa atau kehidupan seseorang.
Tidak hanya hal di atas yang bisa dirangkaiberdasarkan kisah nyata. Cerpen juga bisa. Dan sebenarnya, ini bukan "barang baru". Sebab, nyaris semua pengarang pernah menulis cerpen berdasarkan kisah nyata, baik itu pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain atau kejadian tertentu yang dilihat oleh si pengarang.
Lantas, kenapa harus dibahas di topik ini? Apa istimewanya?
Saya merasa perlu membahasnya, karena baru-baru ini saya membaca dua cerpen dari dua orang teman yang diangkat dari sebuah kisah nyata. Setelah saya baca, terus terang saya kecewa. Sebab cerpen tersebut sama persis dengan cerita aslinya. Isi cerita, alur cerita, semuanya sama. Yang berbeda hanya nama-nama tokoh dan settingnya. Selain itu, cerpennya pun disampaikan dengan gaya yang biasa-biasa saja.
Sebenarnya, dalam mengangkat sebuah kisah nyata ke dalam cerpen, bagaimana teknis menulis yang baik?
Secara umum, tekniknya sama saja dengan teknik penulisan lainnya. Tapi menurut saya, yang perlu diingat adalah: kisah nyata tersebut hanyalah sebuah IDE. Sebagai ide, kita bebas mengembangkannya. Mau kita ubah ceritanya, ditambahi, dikurangi, dan seterusnya, semua terserah kita. Tak ada yang melarang. Toh kisah nyata itu bukan sebuah sejarah, hanya peristiwa sehari-hari yang biasa.
Memang, bukan berarti kita tidak boleh membuat cerpen yang isinya sama persis dengan kisah nyatanya. Ya boleh-boleh saja, dong. Yang saya maksud pada topik ini adalah: Kita jangan sampai berpikir bahwa cerpen yang kita tulis tidak boleh merubah sedikit pun kisah nyatanya. Sebab sekali lagi, kisah nyata tersebut bukan sebuah sejarah.
Sekadar berbagi tips, berikut adalah contoh langkah-langkah yang bisa kita lakukan dalam mengubah sebuah kisah nyata menjadi cerpen.
1. Carilah bagian dari kisah nyata itu yang kita anggap menarik. Bagian yang kurang menarik, atau tidak menarik sama sekali, lupakan saja.
2. Galilah bagian yang menarik tersebut, lalu kembangkan ceritanya sesuai keinginan kita.
3. Kalau perlu, carilah sudut pandang yang unik, agar ceritanya menjadi lebih bagus.
Setelah itu, kita bisa langsung menulis cerpennya. Saat menulis ini, kita sudah boleh membuang jauh-jauh si kisah nyata tersebut. Lupakan saja. Toh kita sudah punya modal berupa ke-3 poin di atas.
Yang juga penting, jangan merasa "terbebani" oleh hal-hal yang melekat pada kisah nyata tersebut, sebab kita bisa mengubah semuanya sesuka kita. Sebagai contoh, si pelaku pada kisah nyata adalah seorang pria. Ketika diubah jadi cerpen, jenis kelaminnya kita ubah jadi wanita. Atau, kisah nyata ini terjadi di Jakarta, tapi pada cerpennya diubah menjadi New York. Dan seterusnya. Ini semua boleh-boleh saja. Asalkan cerita yang kita buat tetap logis (masuk akal) dan menarik.
Ok, semoga bermanfaat ya.
Tags: kiat_penulisan
Prev: Yang terselamatkan dalam Tragedi Mandala
Next: Duh... aku telah mengeksploitasi anakku!
reply share
View replies:Chronological Reverse Threaded
replyemprit wrote on Sep 12, '05kalo gitu caranya, kisah nyatanya jadi hilang dong mas Jonru. ohya, kisah nyata saya pernah dijadikan cerpen oleh seorang temen saya, pas dia merubah (maksudnya mau mengembangkan mungkin) berbagai hal dalam kisah itu, eh saya sebagai si empunya kisah nyata itu ko' jadi gimanaaa gitu mbacanya. agak aneh...
replyjonru wrote on Sep 12, '05emprit saidkalo gitu caranya, kisah nyatanya jadi hilang dong mas Jonru. ohya, kisah nyata saya pernah dijadikan cerpen oleh seorang temen saya, pas dia merubah (maksudnya mau mengembangkan mungkin) berbagai hal dalam kisah itu, eh saya sebagai si empunya kisah nyata itu ko' jadi gimanaaa gitu mbacanya. agak aneh... Seperti yang saya sebutkan di atas, kisah nyata itu hanya sebagai IDE. Dan sepanjang kisah nyata itu bukan sebuah sejarah (yang tidak boleh diutak-atik seenaknya), maka pengarang bebas saja merubah sekehendak dia. Soal kisah nyatanya jadi hilang, itu saya kira tidak masalah. Kalau tidak mau hilang, jangan jadikan cerpen, tapi buku harian, atau biografi, hehehe...Soal kisah nyata mbak afiyah yang dicerpenkan, saya kira juga amat wajar jika mbak merasa aneh setelah membacanya. Berarti si penulis berhasil meramu kisah nyata tersebut menjadi sebuah cerpen yang berbeda. Tapi kalo misalnya mbak ingin agar bagian-bagian tertentu tetap dipertahankan, boleh juga diberitahu pada penulisnya, agar dia jangan sembarangan mengutak-atik.Maaf kalau tidak berkenan ya... :)
replyemprit wrote on Sep 13, '05jonru saidKalau tidak mau hilang, jangan jadikan cerpen, tapi buku harian, atau biografi, hehehe... iya, betul juga antum. heheheohya, berarti kalau ada film atau novel yang dikasih embel2 'based on true story' itu idenya aja dong (aduh, padahal selama ini saya kira sampei detail2nya juga true story, ketipuuuuuuuuuu:-))Tapi kalo misalnya mbak ingin agar bagian-bagian tertentu tetap dipertahankan, boleh juga diberitahu pada penulisnya, agar dia jangan sembarangan mengutak-atikapakah ini berarti juga bahwa kita harus izin dari empunya kisah jika mau menjadikan kisah nyatanya sebagai cerita, meski hanya menjadi ide saja? siapa tahu setelah membaca nanti dia merasa aneh kayak saya .. hehehe.
replyjonru wrote on Sep 13, '05emprit saidapakah ini berarti juga bahwa kita harus izin dari empunya kisah jika mau menjadikan kisah nyatanya sebagai cerita, meski hanya menjadi ide saja? siapa tahu setelah membaca nanti dia merasa aneh kayak saya .. hehehe. kalo ini sih, menurut saya relatif banget mbak. Sepanjang cerpennya itu enggak menyebabkan si pemilik kisah jadi terbuka aibnya, tercoreng nama baiknya, dst, saya kira enggak perlu minta ijin deh. Apalagi kalau di cerpennya tidak disebutkan bahwa cerita ini diangkat dari kisah nyata, lantas semua nama tokoh, lokasi, dst sudah diubah... tentu orang lain (termasuk si pemilik kisah nyata) mungkin tidak tahu lagi bahwa cerpen tersebut diangkat dari kisah nyata tertentu.Tapi khusus untuk kisah nyata yang kejadiannya sudah menjadi milik publik (misalnya kasus tertukarnya bayi yang terjadi beberapa tahun lalu, atau kasus seorang anak bernama arie hanggara yang disiksa orang tuanya hingga mati, atau cerita sayekti dan hanafi), saya kira perlu deh untuk minta ijin ke si pemilik kisah. Kalau enggak, nanti kita dikira menjiplak, karena kisah nyata tersebut telah diketahui oleh hampir semua orang.
replyemprit wrote on Sep 13, '05oooh gitu ya?! *sambil manggut-manggut* wah trimakasih banyak nih mas Jonru, jazaakumulloh khoiron.
replyreincarbonated wrote on Sep 14, '05mungkin seharusnya bukan ditulis "berdasarkan sebuah kisah nyata". cukup ditulis "diilhami oleh sebuah kisah nyata".. inspired from a true story. gitu aja kali ya :)
replyjonru wrote on Sep 14, '05reincarbonated saidmungkin seharusnya bukan ditulis "berdasarkan sebuah kisah nyata". cukup ditulis "diilhami oleh sebuah kisah nyata".. inspired from a true story. gitu aja kali ya :) wah.. bener jugathanks mas arya atas masukannya :)
replyemprit wrote on Sep 15, '05kalo yg di film2 dan ada embel2 'based on true story' bukan 'inspired', gimana tuh? malah ada yang langsung 'true story' aja. (soalnya, saya tuh mendalami banget kalo lihat film atao baca cerita, hehehe. apalagi kalo ada embel2 true story, uuh bisa ngga' kedip nontonya)
replysondang27 wrote on Jul 26Kebanyakan cerpen yang saya tulis adalah berdasarkan kisah nyata (pengalaman saya sendiri) dan memang ada bagian-bagian tertentu yang saya tambahi supaya jalan cerita bisa nyambung. Dan ada juga cerpen yang saya buat berdasarkan cerita yang dikisahkan oleh teman saya mengenai temannya.Ketika saya mengarang berdasarkan cerita tersebut saya mereka-reka bagaimana awal cerpen kira-kira. Intinya adalah bahwa memang ada bagian tertentu dalam cerita yang kita caplok dari kisah nyata. Tapi anehnya sekarang saya sepertinya kehilangan ide dan semangat sama sekali dalam menulis cerpen setelah hampir semua pengalaman saya yang saya anggap menarik telah saya cerpenkan. Hampir satu setengah tahun berhenti sampai sekarang. Dulu saya punya target dalam menulis yakni harus selesai tiga cerpen dalam seminggu dan waktu menulis saya adalah setiap sabtu dan Minggu. Sekarang satu cerpen pun tidak ada ...Apakah bang Jonru pernah mengalami apa yang pernah saya alami? Bagaimana kira-kira cara mengatasinya?
Pengembaraan Seorang Laksana
Ditulis oleh I Kurniawan
Minggu, 30 Januari 2005
SUATU perjumpaan barangkali sebuah cerita yang baik dan buruk sekaligus. Saat itu, di tahun 2000, aku untuk kesekian kalinya berjumpa dengan A.S. Laksana. Lelaki kelahiran Semarang, 25 Desember 1968 itu kelak dinobatkan sebagai tokoh tahun 2004 bidang sastra oleh majalah Tempo. Untuk pertama kalinya Laksana terkena "demam" bikin situs web setelah menyaksikan aku mendemonstrasikan cara mudah membuat sebuah halaman situs. Sejak itu, lelaki yang semula gagap memegang mouse itu lantas berenang-renang dengan suka citanya di dunia teknologi informasi, bahkan berani membangun situs pertamanya, Akubaca.com. Komputernya dipasang bermacam-macam aplikasi. Sebagian tak jalan.
Sampai suatu ketika muncul pop up di layar monitornya dengan pilihan "yes" atau "no". Bila "no" maka komputernya ngadat, bila "yes" maka hard disk-nya diformat ulang. Tak ada pilihan lain bagi "programer" amatiran itu kecuali memejamkan mata lalu menekan tombol "yes", dan musnahlah sudah isi komputernya, termasuk sebagian naskah bakal novel Medan Perang. Tapi, ia kini bersahabat baik dengan komputer. Ketika kawannya, Yayan Sopyan, mempromosikan pembuatan lagu dengan aplikasi ModPlug Tracker, Laksana pun tak gagap lagi bermain-main dengan aplikasi itu. Ketika saya bersua dengannya kembali pada Rabu (19/1) lalu, Laksana mengajak saya menengok ruang kerjanya di lantai dua sebuah rumah di Jalan Jambu Nomor 22A, Kampung Utan, Ciputat, tak jauh dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Separuh ruangan itu dipenuhi kardus-kardus berisi buku-buku. Sebagian kecil buku memadati dua rak di dinding. Kebanyakan karya asing. Terlihat The Name of the Rose Umberto Eco, The Book of Black Magic Arthur Edward Waite, The World of Language Donald Merryman, Kamus Pepak Basa Jawa Sudaryanto dan Pranowo, dan kumpulan haiku Jepang Salad Anniversary Machi Tawara, Sejumlah karya sastra Indonesia berderet di satu tingkat rak.
Dua kamus Lexicon Webster Dictionary setebal bantal bersandar di salah satu rak dan setumpuk lengkap buku petualangan Karl May terbitan Pradnya Paramita di tingkat atasnya. Udara ruangan itu tak cukup segar. Tak ada jendela dan pengatur udara. Tiga komputer tua teronggok di salah satu sisi ruang. Sebuah komputer yang terlihat lebih baru dengan pelindung yang terbuka bercokol di sebuah meja yang tak seberapa besar. Itulah meja kerja Laksana. Di komputer itulah karya-karyanya tersimpan, termasuk beberapa biji lagu ciptaannya yang dengan bangga dipamerkannya malam itu. * * * * AKU TERLAHIR dengan nama...., ah aku rasa cukup kau mengenalku dengan nama A.S. Laksana saja. Akte kelahiranku telah hilang saat Semarang dilanda banjir, termasuk dokumen-dokumen lainnya. Jadi, cukuplah panggil aku Sulak saja, sebagaimana teman-temanku memanggilku. Wartawan Koran Tempo itu mendesakku menyebut nama lengkapku. Tapi, aku enggan. Aku bilang, ada satu rahasia yang kadang ingin orang simpan dan aku ingin menyimpan rahasia itu.
Sedari kecil aku suka menulis puisi dan cerpen yang kujilid rapi menjadi sebuah buku yang dihiasi vignet. Kalau kau bertanya, dari mana darah kepenulisanku, barangkali aku bisa sebut dari kakekku di garis ibu. Kakekku, Mbah Sumo, punya sebuah peti besar yang hanya boleh dibuka setelah dia meninggal. Ketika dibuka, ternyata isinya setumpuk catatan harian yang sangat rinci. Di situ tercatat, misalkan, bakal kakakku yang meninggal karena ibuku keguguran saat mengandungnya. Seperti kakek, aku suka menulis buku harian. Ada beberapa buku yang kutulis, tapi semuanya hilang entah ke mana. Beberapa kali buku harianku dibaca orang, aduh, rasanya malu sekali, seperti diri ini ditelanjangi. Aku juga senang mengeksplorasi segala hal. Barangkali karena darah bapak mengalir padaku. Bapakku, Karyono, adalah seorang timer bus kota Damri di Semarang. Tapi, ia pandai bertukang dan suka bereksperimen di waktu senggangnya. Dia, misalkan, pernah bikin minyak rambut dan mercon. Waktu SD aku sering mengirim tulisan ke majalah anak-anak di kotaku, tapi tak pernah dimuat.
Semasa di SMA aku suka menulis puisi dan teman-temanku menganggap aku penyair dan jadi rujukan dalam pelajaran bahasa Indonesia. Setidaknya, pengalamanku dalam membaca lebih banyak ketimbang teman-teman, karena sejak SD aku membaca Horison yang kudapat di loakan meski tidak paham. Aku membaca cerpen Budi Darma dan tulisan-tulisan lain dengan alot sekali. Tidak aku pahami, tapi nikmat. Rasanya seperti tersesat-sesat tapi mengasyikkan. Tapi, ada juga yang bisa kupahami, seperti timbangan buku. Dari sana aku mengerti soal puisi dan bagaimana membaca puisi yang baik. Tapi, saat aku membaca puisi di depan kelas, suaraku tak keluar. Sang penyair ini pun akhirnya dapat nilai 6 untuk bahasa Indonesia.
Aku pernah berbuat usil waktu Kelas II SMA. Suatu kali ada tugas membuat cerpen. Aku lantas menyalin sebuah cerpen Danarto. Kau tahu, berapa nilaiku? Enam, Bung. Jadi, cerpen Danarto itu nilainya cuma enam. Tapi, waktu Kelas II SMA, satu cerpenku, "Suara-suara", dimuat di harian Kartika yang kantornya persis terletak di sebelah sekolahku. Aku lupa bagaimana isinya. Yang kuingat cerpen itu berkisah tentang seorang janda muda dan sangat melodramatis. Naskahnya aku sudah tak punya lagi. Memang, pengarsipanku buruk sekali. Buku kumpulan cerpen Bidadari yang Mengembara (KataKita, Mei 2004) berhasil diterbitkan dengan mengumpulkan naskah-naskah itu dengan susah payah. Karena berpuisi tak bersuara, aku memutuskan ikut teater SMA. Maunya sih biar bisa tampil dengan penuh percaya diri. Tapi, aku keluar setelah ikut 3 kali latihan. Tapi, dari teater setidaknya aku mengenal yang namanya timing dan soal dramaturgi lainnya yang berguna ketika nantinya aku menulis cerpen. Setelah itu aku masuk Jurusan Bahasa Indonesia IKIP Semarang pada 1987.
Orang tuaku jengkel, mereka ingin aku jadi arsitek. Tapi, aku ingin jadi guru bahasa Indonesia. Gagasan jadi guru itu ceritanya begini. Dulu ibuku, Susiati, berdagang di pasar. Setiap hari ia beli kertas pembungkus dari koran, buku, dan majalah. Di antara tumpukan kertas itu aku menemukan majalah penggemar buku yang memuat wawancara dengan Romo Mangunwijaya tentang pendidikan. Nah, Romo Mangun bilang, salah satu persoalan pendidikan di Indonesia adalah tidak mengajarkan cara orang berkomunikasi, cara berbicara, cara menulis. Juga aku mendengar bagaimana sekolah-sekolah di luar negeri mengajarkan orang mengarang dari kecil. Jadi, sebenarnya aku ingin jadi guru mengarang, tapi karena tak ada pelajaran mengarang, yang ada pelajaran bahasa Indonesia, maka aku ingin jadi guru bahasa Indonesia. Tapi, setelah mengikuti beberapa kuliah di IKIP, aku pikir tak mungkin jadi guru yang baik di situ. Lalu orientasiku agak berubah. Aku ingin jadi wartawan, padahal maksudnya ingin jadi sastrawan.
Untuk jadi wartawan aku masuk Jurusan Komunikasi Fisipol UGM Yogyakarta pada 1988. Kuliah beneran yang kutempuh cuma 2 tahun. Setelah itu nggak keruan, aku mengembara ke mana-mana. Aku selalu diganggu keinginan untuk menulis. Beragam artikel kutulis. Aku menulis cerpen lagi pada 1992 yang dimuat di Kompas dan Jawa Pos. Aku tak ingat judulnya apa. Pada Januari 1993 aku hijrah ke Jakarta dan bikin Gorong Gorong Budaya bersama Hasif Amini, Yosrizal, Sitok Srengenge dan Najib Azca. Aku juga turut mendirikan tabloid DeTIK hingga akhirnya dibredel pada 1994. Di media itu aku menulis kolom di rubrik "Podium" yang kemudian diterbitkan sebagai Podium DeTIK (1995). Kemudian krisis melanda Indonesia. Setelah itu aku sempat kembali aktif sebagai wartawan di tabloid Detak hingga akhirnya keluar dan mendirikan Yayasan Akubaca yang bergerak di bidang penerbitan pada 2000.
Penerbitan ini lahir dari gagasan bahwa penyerapan sastra dunia hanya mungkin dilakukan dengan strategi Jepang: penerjemahan besar-besaran. Sejumlah karya sastra dunia, seperti karya Milan Kundera dan Jumpha Lahiri, berhasil kuterbitkan. Bila ke toko buku aku selalu mencari dan membeli buku-buku novel, cara berpikir, dan manajemen. Dua jenis buku pertama cukup berhasil kupahami. Tapi, jenis buku terakhir itu tak pernah mampu kupahami. Tampaknya itulah alasan mengapa Akubaca akhirnya bangkrut dan ditutup pada 2003. Tapi, kau tahu, aku tetap ingin menjadi guru. Maka, tahun lalu, bersama beberapa teman aku mendirikan Jakarta School, sebuah sekolah yang mengadakan kursus penulisan kreatif. Sekolah kami telah berjalan dan kini aku, Yayan Sopyan dan Agung Bawantara menjadi guru di enam kelas. * * * * * LAPAR pada akhirnya menyerangku. Saat itu aku duduk di toko buku Rumahtom di lantai II Wisma Usaha UIN Jakarta, Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat.
Toko seukuran kamar kos mahasiswa itu sepi-sepi saja sore itu. Toko itu satu atap dengan Jakarta School, sekolah asuhan Laksana. Di depanku, Laksana yang hari itu berkemeja batik cokelat muda lengan pendek dan bercelana jins biru duduk santai sambil menikmati sebatang rokok Gudang Garam Merah di bibirnya. Rambutnya yang gondrong diikat di belakang. Aku mengajak dia makan. Waktu yang tak tepat sebenarnya, karena jam masih menunjukkan pukul 17.00 WIB. Tapi, dia mengangguk dan kami pun menuju ke Bakmi Yogya di belakang kampus UIN Jakarta. Di warung itu tak banyak pilihan yang tersedia, maka jadilah kami berdua memesan nasi ruwet daging ayam dan es teh manis. Warung itu sepi, padahal suasana cukup nyaman dan teduh untuk suatu rendezvous.
"Berapa lama kau menulis cerpen? Kau penulis cepat apa penulis lambat?" tanyaku sambil menyeruput es teh. "Ada yang semalam jadi seperti 'Telepon dari Ibu'. 'Menggambar Ayah' tujuh tahun. Kalau dari inspirasinya lebih lama lagi, karena aku pertama kali melihat orang menulis grafiti di tembok itu waktu SMA. Lalu, waktu 1990-an aku membaca berita seorang artis mengumumkan diri akan menjadi ibu tunggal, aku terdorong untuk menggambarkan anak kecil yang menanyakan soal bapaknya." "Soal sumber ilham penulisan cerpen di Bidadari yang Mengembara ini apa saja?" "'Cerita tentang Ibu yang Dikerat' itu sisa gagasan yang tak tertampung ketika menulis cerita bersambung (Medan Perang) di Koran Tempo. Sedangkan soal banci dalam 'Bangkai Anjing' karena aku pernah ketemu sopir truk banci saat masih kecil dan suka menumpang truk saat liburan akhir pekan. Sedangkan 'Seorang Ibu yang Menunggu' itu ditulis habis menonton film Rob Roy dan aku ingin memasukkan pertanyaan anak kecil di film itu, 'Dari mana bayi keluar?'.
Menulis cerpen ini agak cepat menulisnya. Sama seperti 'Telepon dari Ibu'. Yang terakhir ini aku tulis ketika aku mendapat surat dari temanku di luar negeri. Dia menulis tentang betapa dinginnya di sana. Coba kamu bayangkan, katanya, bila ada di puncak Gunung Bromo tanpa sehelai benang pun. Nah, aku ingin memasukkan kalimat itu. Cerpen ini kutulis dalam semalam langsung jadi." "Di cerpen-cerpenmu sepertinya kamu terobsesi dengan figur bapak. Ada bapak yang dibenci, ada yang dicintai. Sebenarnya hubunganmu dengan bapakmu normal nggak sih?" "Normal," katanya. Lantas, buru-buru menambahkan, "Tapi, kan galak sekali. Waktu kecil, bapakku galak sekali, mungkin karena aku nakal. Aku pernah dilempar ke sungai ketika aku nawu (membendung sungai untuk menangkap ikan)." Aku tertawa. "Tapi," ia melanjutkan, "Orangtua memang seringkali menjengkelkan. Pada saat anak lelaki puber, misalnya, dia dibiarkan sendiri, nggak pernah diurus orangtuanya.
Tiba-tiba tegang sendiri begitu, orangtuanya nggak pernah ngajak ngobrol kek atau ngasih pemahaman tentang itu. Tabu seperti itu. Jangan-jangan memang iya, orangtua itu kadangkala menjengkelkan. Aku tersenyum. "Tapi, nggak sampai membuat dendam sehingga kau ingin membunuhnya, kan?" kataku. "Oh, nggak. Dia baik kok," jawab Laksana mantap. "Soalnya, Bung, karakter tokoh-tokohmu kebanyakan begitu membenci sosok ayah. Maksudku, orang yang tak mengenal kamu bisa menduga kamu membenci bapakmu. Coba, dalam 'Rumah Unggas' itu, misalnya, si Seto mengganti minuman ayahnya dengan air yang diambil dari ceruk kakus. Kan, kejam amat itu anak. Kau bertanggung jawab kalau ada anak-anak yang ikut-ikutan menggunakan metode itu, lho," kataku bercanda. Laksana tertawa lebar, kumisnya berkibar-kibar. "Tapi, bapak harus waspada juga, dong," katanya. Perbicangan kami berlangsung cukup lama. Adzan Magrib terdengar cukup jelas dari sebuah masjid.
Tak lama kemudian, dua pasang anak muda yang tampak masih mahasiswa masuk ke warung itu dan duduk di lesehan yang tak jauh dari kami. Aku menengok mereka sebentar lalu kembali ke Laksana yang menghentikan makannya yang baru habis separuh dan mulai membakar rokoknya. Dia perokok berat, sehari bisa habis tiga bungkus rokok. "Sebenarnya menulis cerpen itu menurutmu bagaimana sih? Menceritakan sisi-sisi kemanusiaan atau apa?" tanyaku. Dia diam sejenak. Ada jeda yang kadangkala cukup panjang bila berbincang-bincang dengan Laksana. Akhirnya dia menjawab: "Sebetulnya karena aku ini bisa dipercaya teman-teman karena aku dianggap bisa pegang rahasia.
Menyimpan rahasia itu kan sulit, tapi membongkar rahasia juga buruk. Cuma, harus ada sesuatu untuk dilakukan untuk menguras itu, yakni cerpen. Cerpen-cerpenku pasti campuran dari berbagai karakter, sudah tak bisa dideteksi dari mana. Mungkin suatu ketika ada yang seperti diomongin orang ini, mungkin kalau temanku baca bagian itu ia ingat, o, ini yang kuceritakan waktu itu. Ada juga dari bacaan." "Dalam cerpen-cerpenmu ada banyak subplot. Kadang kau menawarkan ke pembaca untuk membatalkan sebagian plot yang sudah terbangun. Apa ini semacam strategi berceritamu?" tanyaku sambil membereskan piringku yang sudah tandas. "Awal menulis, ketika masih SMA, yang mudah kupahami cerita-cerita konvensional yang menawarkan keasyikan alur, plot. Lama-lama, apa hanya begini cara membuat cerita? Karena, ludruk itu bisa tiba-tiba ada senggakan (berdiskusi dengan penonton). Kan bisa. Dulu, ada tetanggaku orang tua yang umurnya sudah seratus tahun lebih.
Dia suka mendongengi anak-anak dengan jeda beberapa kali yang diisi nasihat-nasihat. Nah, ada cara bercerita seperti itu dan tetap menyenangkan. Maka, dalam tulisan mestinya bisa. Narator itu dalam cerpen mungkin bisa ikut campur." "Kau punya hambatan dalam menggunakan bahasa Indonesia dalam menulis?" tanyaku. Aku ingin jadi guru bahasa Indonesia itu sebetulnya karena sedih dengan bahasa Indonesia. Pada pemakaian bahasa Indonesia yang tidak berkembang-berkembang. Di mana-mana orang berbahasa Jakarta sekarang, yang menurutku tak bisa untuk berpikir, menyampaikan sesuatu.
Misalnya, 'pokoknya gimana gitu'. Itu kan malas. Kalau untuk menyampaikan perasaan saja sulit, apa tidak kesulitan sekali untuk berpikir ilmiah kalau begitu? Makanya, kita harus berterima kasih sekali kepada orang-orang seperti Gunawan Mohamad yang masih terus menggali bahasa Indonesia sampai ke kemungkinan terbaik yang bisa dilakukan." "Ngomong-ngomong, sebenarnya siapa orang atau pengarang yang paling kau kagumi?" tanyaku. Ini pertanyaan iseng sebenarnya, tapi jawabannya tak terduga. "Mohammad Ali yang petinju itu," jawabnya. "Dia orang yang sangat mengerti plot. Tinjunya menjadi sebuah tontonan yang menarik. Dia menulis puisi, dia ramalkan, kamu kupukul jatuh pada ronde kedelapan atau berapa begitu. Itu kan sudah membuat pembukaan yang sedap. Orang jadi ingin tahu, betul tidak bahwa pada ronde itu dia bisa menjatuhkan lawannya.
Lawannya jadi dihantui oleh ronde kedelapan itu. Di situ konsentrasinya buyar. Nah, di situ Ali jadi karakter utama. Jadi protagonis." "Tapi, dia pandai membuat plot yang sangat bagus. Ketika kawannya kepayahan, sebetulnya dia bisa jatuhkan, tapi kadang dia tidak jatuhkan, dia hanya elus-elus kepalanya. Dari bukunya yang kubaca, The Greatest, karena penonton itu bayar. Ketika aku belajar tentang plot, aku melihat Ali adalah pembuat plot yang baik." "Tapi, mengarang itu kan tidak cuma plot. Ada dialog. Soal dialog, aku pelajari dari ketangkasan Hemingway. Tentang tema, aku temukan pada Dataran Tortilla-nya Steinbeck. Dia bisa melukiskan kemelaratan dengan kegembiraan.
Tidak melodramatis, tapi gembira sekali. Lalu ketemu Prajurit Schweik-nya Jaroslav Hasek. Ada kecerdasan yang tak disangka-sangka dari keluguan. Belakangan aku bertemu banyak hal, seperti Il Postino Antonio Skarmeta. Ternyata, sesuatu yang tidak disampaikan secara ruwet itu menyenangkan. Bahwa sastra itu seharusnya tidak ruwet, sesuatu yang menggembirakan." "Setelah bikin Akubaca, Jakarta School dan setumpuk cerpen kau mau apa lagi?" tanyaku. "Menang Nobel," jawabnya. "Iya, tapi mau bikin apa supaya menang Nobel," desakku. "Karya sastra yang baik. Apa lagi?" jawabnya lalu tertawa. Dia mengeluh bahwa kadang orang ingin melakukan eksperimen, "Tapi, tak ada yang mau membiayai." Telepon genggamnya berdering. Dia menerima telepon dari seseorang. Rupanya bapaknya yang menanyakan apakah Ciputat banjir karena ia menonton berita di televisi yang mengabarkan banjir di Jakarta. Hitam sudah melumuri langit Jakarta. Laksana mengajakku menjenguk ruang kerjanya di rumahnya yang letaknya tak jauh dari situ. Kami pun berkemas, lalu berangkat dengan berboncengan di sepeda motornya.
(dikutip dari rubrik Penganrang Ruang Baca Koran Tempo, edisi 30 Januari 2005)
Mulai Dari Menulis
Ditulis oleh Nila Zaidan
Rabu, 02 Maret 2005
Saat duduk di sekolah dasar beberapa puluh tahun lalu hampir seluruh teman-teman di kelas saya paling jengkel saat guru kelas mulai berkata: Sekarang waktunya pelajaran mengarang! Belum selesai Pak Guru bicara, serempak mulut teman-teman berbunyi yaaaaahh.Apa gunanya belajar mengarang? "Enggak penting! Aku ingin jadi astronot," bisik Elita, si juara kelas. "Iya, aku mau jadi ahli keuangan, buat apa belajar mengarang?" balas Susilo. Bla, bla, bla, bla....Ingatan masa kecil dulu tebersit kembali mendengar seorang teman menyarankan kepada saya untuk belajar creative writing,saat saya curhat bahwa rasanya pekerjaan dan otak saya sedang stuck, mentok. Bagaimana karier mau bagus kalau sedikitsedikit otak saya stuck, enggak tahu mau berinovasi apa, ruwet!Belajar menulis? Apa hubungannya?
Kembali pertanyaan yang sama dengan teman-teman saya puluhan tahun lalu muncul.Itulah asal muasal kenapa saat ini saya belajar menulis di Jakarta School, Creative learning Center, sebuah sekolah yang dibidani oleh AS laksana, Yayan Sopyan, dan Agung Bawantara yang mengadakan kursus penulisan kreatif dari menulis novel, biografi, skenario, dan buku panduan lainnya.Pasti ada yang bertanya-tanya kenapa hanya karena ingin sukses dalam karier saya jadi belajar menulis. Jawabannya karena dengan menulis saya bisa membenahi pikiran dan menata perencanaan apa yang akan saya lakukan dengan lebih runtut serta berpikir lebih kreatif. Dengan belajar menulis saya juga bisa berpikir lebih cepat, lebih logis, lebih fokus atau lebih kreatif. Atau saya juga bisa menghilangkan keruwetan berpikir dengan belajar menulis.
Tangan dan Otak Seperti yang saya kutip dari tulisan AS Laksana bahwa ketika kita menulis, tangan kita melakukan sesuatu. Jika toh Anda bukan seorang penulis atau Anda tidak ingin menjadi penulis, menulislah. Akrabkan tangan Anda dengan otak Anda. Sebab apa yang ditulis oleh tangan Anda adalah langkah pertama yang akan mewujudkan apa yang ada di kepala Anda. "Jika Albert Einstein tidak bisa menulis, teori relativitas tak akan tercipta sebab tak akan ada yang paham teori tersebut jika tak bisa dikomunikasikan. Einstein bukan penulis tetapi ia sudah menulis lebih dari 2.000 makalah. Dengan menulis ia menuangkan segala kemungkinan yang kemudian melahirkan teori-teori besarnya," jelas Sulak, panggilan akrab AS Laksana.Pendapat Sulak ini didasarkan pada keyakinannya bahwa kita perlu mendekatkan tangan dengan otak, itulah kunci kreativitas.
Otak merancang sesuatu dan tangan mengerjakannya. "Ketika Anda menulis, otak Anda merekam dengan baik setiap gagasan dan dengan demikian Anda tak mudah sesat dan tak akan kehilangan ilham," imbuhnya.Jadi menekuni disiplin ilmu apa pun, kita perlu menulis agar otak makin terasah, agar tak kehilangan jejak alas segala yang telah kita pelajari.Yayan Sopyan bahkan mengatakan begini: "Jangan percaya apa yang ada dalam pikiran Anda sebelum Anda tuliskan. Menulis itu merupakan cara, media untuk jadi apa pun," ujar Yayan. Ditambahkan oleh Agung bahwa orang tak akan punya karier bagus jika bicaranya abstrak. Dengan menulis kita melatih mengkonkretkan apa yang dipikirkan, membenahi pikiran.
"Posisikan anda sebagai sepatu ..."Dalam setiap sesi, ketiga pengasuh belajar menulis itu selalu menyelipkan bagaimana caranya membenahi pikiran, berpikir kreatif. terencana, dan runtut seperti membiJat outline. Saya pikir-pikir kok iya ya, dalam bentuk yang paling sederhana pun semua orang harus punya outline.Tentu saja apa yang mereka ajarkan menjadi dasar untuk orang-orang yang berencana menjadi penulis. Bahkan ketika orang tak berniat jadi penulis dan ingin mengembangkan sektor lain, dia bisa merumuskan apa yang ada di kepalanya dalam tulisan yang mudah dipahami.Yang tak kalah menarik adalah mereka mengajarkan juga bagaimana pentingnya berpikir dengan sudut pandang yang berbeda.
"Untuk membuat terobosan baru atau inovasi lainnya, penting sekali berpikir dari sudut pandang berbeda. Posisikan Anda sebagai sepatu yang tiap hari ke kantor," kata Yayan. Jadi sepatu? liiih, jijik!, batin saya. Tapi itu perlu dipikirkan, katanya lagi.Atau pelajaran lain bagaimana saya berpikir "mengawinkan suami saya dengan kursi", misalnya. Wah, kepala saya benarbenar diberi pencerahan! Saya jadi semakin tertarik. Tak hanya karena kekreatifan berpikir yang saya dapatkan tapi juga saya diajarkan teknik berpikir lainnya.Misal saja teknik menemukan gagasan, teknik mengembangkan gagasan, merumuskan gagasan, membuat sistematika, berpikir sistematis, teknik deskripsi, teknik komunikasi, riset dan sebagainya. Tak hanya teori, dipraktikkan juga pelajaran seperti freewriting, brainstorming, dan clustering.Selain itu, mereka mengajarkan teknik ke luar dari kebuntuan menulis dan berpikir atau writer's block.
Ini yang paling sering saya alami. Ternyata belajar menulis tak hanya untuk penulis, kan? Sekali lagi otak saya serasa diberi pencerahan bagaimana meningkatkan karier saya agar sukses. Saya jadi teringat lagi kepada teman SD saya Elita dan Susilo yang jengkel dengan pelajaran menulis. Ingin sekali saya kembali ke masa lalu dan berkata: "Elita jadi astronot sukses itu harus berpikir..., Susilo jadi ahli keuangan sukses itu harus berpikir... dengan belajar menulis kita jadi terbiasa berpikir... bla-bla-bla.(Disalin dari majalah Her World Indonesia edisi Maret 2005, halaman 190 - 191)
Apa Saja yang Bisa Anda Tulis?
Ditulis oleh AS.Laksana
Selasa, 01 Maret 2005
Bagaimana tanggapan alamiah anda atas sebuah pertanyaan? Memberikan jawaban tentu saja. Sebuah pertanyaan menghendaki jawaban. Makin menarik atau tidak lazim sebuah pertanyaan, makin kuat keinginan kita untuk mendapatkan jawabannya.Sebagai seorang penulis, ketika anda memasukkan pertanyaan-pertanyaan dalam tulisan anda, itu akan mempertemukan anda dengan pembaca anda dan berkali-kali terbukti bisa memancing pembaca ke arah yang anda inginkan. Sederet pertanyaan bisa juga melahirkan topik untuk tulisan mendatang jika anda tak tahu harus menulis apa.
Anda hanya perlu menulis pertanyaan, dan tidak usah terlalu bernafsu untuk membuat pertanyaan-pertanyaan yang unik atau luar biasa. Pertanyaan yang biasa-biasa saja sering menjadi awal bagi sebuah novel atau karangan yang baik.Cobalah membuat cerita berangkat dari pertanyaan ini:· Apakah itu anjingmu? · Di mana kamu kemarin? · Kenapa kau merasa perlu menemuiku? · Apakah itu? · Siapa kamu? · Kapan kita minggat dari tempat ini?Pertanyaan-pertanyaan di atas sangat sederhana, namun kesemuanya memiliki membuka kemungkinan yang tak terbatas.Untuk non-fiksi, membuat kalimat tanya sebagai judul atau mengawali tulisan dengan pertanyaan merupakan teknik umum untuk mengikat perhatian pembaca majalah. Perlu bukti? Periksalah tulisan-tulisan di majalah anda.· Apa yang kau bisikkan, Theo? · Pencalonan Sutiyoso tak lepas dari andilnya membujuk Megawati. Apa saja “dosa-dosanya”? · Agus Dwikarna dari Indonesia divonis 10 tahun penjara. Korban kampanye anti-teror?Benarkah Pertamina bisa rugi puluhan miliar? · Masih ingat lahan gambut sejuta hektare? · Kapankah matahari tenggelam?(Beberapa pertanyaan pembuka berita di majalah Tempo)Dalam bukunya yang berjudul "How to Think Like Leonardo da Vinci", Michael Gelb menulis begini: “buatlah seratus pertanyaan yang penting bagi anda. Anda bisa memasukkan berbagai jenis pertanyaan sepanjang anda anggap itu penting…”Gunakan aturan-aturan praktek menulis, dan kembangkan daftar pertanyaan ini dalam satu setting. Tulis cepat, jangan ragu, jangan menyensor diri sendiri. Bebaskan diri anda untuk menulis apa saja.Selanjutnya, buatlah daftar pertanyaan. Pertanyaan manakah yang memiliki energi ketika anda baca? Tandailah pertanyaan-pertanyaan yang berdekatan. Garis bawahi. Tulislah satu jawaban untuk sejumlah pertanyaan yang berdekatan tadi. Seratus pertanyaan yang baik akan menghasilkan setidaknya 20 topik yang menarik untuk anda gali lebih dalam, lebih lebar, lebih luas.
Mendekatkan Tangan dengan Otak
Ditulis oleh AS Laksana
Minggu, 19 September 2004
Soalnya begini: anda perlu mendekatkan tangan anda dengan otak anda. Ituah kunci kreativitas. Tangan kita adalah alat tubuh yang begitu dekat hubungannya dengan isi kepala kita. Otak kita merancang sesuatu, dan tangan kita yang mengerjakannya. Seorang petani berpikir bagaimana mengolah tanahnya, dan tangannyalah yang mengerjakan semua yang dia pikirkan. Tangan itu menggenggam gagang cangkul dan mengayunkannya. Tanganlah yang menggemburkan tanah dan menyiramkan rabuk agar tanah yang keras menjadi subur. Tanganlah yang mengguyurkan air ke tanaman di dalam pot. Seorang pemburu, dari zaman kapan pun, berangkat dari rumah dengan pikiran untuk memperoleh buruan sebanyak mungkin.
Tangannyalah yang merentangkan busur, melepaskan anak panah, atau menembakkan pelor ke arah sasaran. Jika lapar, anda punya gagasan untuk segera mendapatkan makanan, dan tangan andalah yang menyuapkan nasi ke mulut.Karena itu, beri kesempatan kepada tangan anda untuk melakukan apa yang memang menjadi kesukaannya. Jangan membiarkannya menjadi penganggur. Kasihan ia. Beri ia pena, beri ia kesempatan menekan tuts mesin ketik atau keyboard komputer anda, biarkan ia menjalin kerjasama dengan otak, kawan karibnya. Seorang penulis -saya tak ingat namanya- menyatakan, kira-kira begini:"Tulis apa saja yang ada dalam pikiran anda, dan segala yang berkecamuk di dalam pikiran itu akan menemukan jalan keluar.
" Ketika kita menulis, katanya, "tangan kita melakukan sesuatu."Jika toh anda bukan seorang penulis, atau tidak ingin menjadi penulis, menulislah. Akrabkan tangan anda dengan otak anda. Sebab, apa yang ditulis oleh tangan anda adalah langkah pertama yang akan mewujudkan apa yang ada di kepala anda. Albert Einstein, ilmuwan yang namanya paling dikenal sepanjang abad kedua puluh, tidak pernah kita kenal sebagai seorang penulis. Namun sepanjang hidupnya ia telah menulis tidak kurang dari 2.000 makalah. Dan dengan menulis itu ia menuangkan segala kemungkinan yang kemudian melahirkan teori-teori besarnya.
Orang lain lagi, Muhammad Ali, petinju kelas berat yang paling memukau, juga selalu menulis dan membacakan puisinya untuk. mengejek calon lawan sebelum pertandingan. Biasanya ia meramalkan, dengan cara jenaka, pada ronde keberapa lawannya akan dijatuhkan.Ketika anda menulis, otak anda merekam dengan baik setiap gagasan anda dan dengan demikian anda tak mudah sesat dan tak akan kehilangan ilham. Menekuni disiplin ilmu apa pun, anda perlu menulis agar otak anda makin terasah, agar anda tak kehilangan jejak atas segala yang telah anda pelajari.
Menulis dan Berpikir Secara Lebih Baik
Ditulis oleh AS Laksana
Minggu, 19 September 2004
Apakah anda ingin bisa berpikir lebih cepat, lebih logis, atau lebih kreatif? Bagaimana caranya agar daya pikir lebih kuat dan bisa lebih fokus? Apakah anda ingin menghilangkan keruwetan berpikir? Apakah anda ingin bisa lebih tahan berpikir dan berkonstrasi lebih lama? Baca cerita di bawah ini. Anggaplah diri anda seorang astronot dan secara tak terduga pesawat ruang angkasa anda keluar dari orbitnya. Anda mengarungi kegelapan ruang angkasa dan akhirnya mendarat di sebuah planet bernama BLOK. Sementara stasiun di bumi mengirimkan sekoci ruang angkasa untuk menyelamatkan anda, anda mengisi waktu dengan melihat-lihat sekeliling anda. Apa yang anda jumpai sungguh mencengangkan.
Makhluk-makhluk di planet BLOK, yang menyebut diri mereka Chip, semuanya merupakan pemikir yang buruk. Segala sesuatu yang mereka lakukan selalu berantakan. Segala yang mereka bangun selalu rubuh kembali. Hanyalah keajaiban yang membuat mereka tetap bertahan. Mereka tidak mampu memahami apa pun.Anda tidak tahu apakah stasiun di bumi akan bisa menemukan anda atau tidak, namun -di luar urusan dengan stasiun itu- anda tergerak untuk membuat daftar kekeliruan yang dilakukan oleh para Chip dalam proses berpikir. Siapa tahu daftar anda ini kelak akan berguna bagi penduduk bumi agar planet yang kita huni ini selamat dari kebobrokan sebagaimana yang terjadi di planet B LOK.Mungkin inilah isi catatan anda:Mengapa Kaum Chip Mengalami Kemunduran· Kaum Chip selalu tergesa-gesa. · Mereka tidak pernah merancang tujuan. · Mereka tidak pernah mengajukan pertanyaan. · Mereka abai terhadap fakta-fakta. · Mereka selalu percaya pada apa saja yang mereka baca · Mereka adalah manusia massa, sebuah gerombolan yang selalu ubyang-ubyung. · Mereka terpaku pada reaksi emosional sesaat; mereka selalu bercakap dalam bahasa klise dan berpikir dalam bahasa slogan. · Mereka tidak pernah menarik hubungan antara apa yang telah mereka pelajari dan hal-hal lainnya. · Mereka tidak pernah risau pada cara mereka berpikir. · Mereka tak pernah menulis sama sekali.Apakah sebuah keanehan jika Planet BLOK adalah sarang keruwetan? Jika anda bisa mencapai bumi, jangan pernah melakukan apa yang dilakukan makhluk-makhluk planet BLOK. Dan ingatkan orang-orang di bumi tentang apa yang akan terjadi jika mereka menjadi pemikir yang buruk.
Menjadi Pemikir yang lebih Baik
Ironisnya, pelajaran berpikir yang diajarkan di planet itu sesungguhnya sama dengan pelajaran berpikir yang diajarkan di bumi agar kita menjadi pemikir yang lebih baik, yaitu:Bersabarlah ... jangan mengharapkan penyelesaian yang mudah dan cepat untuk setiap masalah yang kita hadapi. Pemikiran yang baik sering memakan waktu dan memaksa anda untuk membuat perencanaan, membaca, mendengar, bertukar pendapat, dan sebagainya.Tentukan tujuan ... berpikirlah tentang apa yang harus (atau bisa) anda lakukan sekarang (tujuan jangka pendek) dan apa yang harus anda kerjakan dengan sabar, langkah demi langkah, untuk sampai pada tujuan yang anda inginkan (tujuan jangka panjang).
Asahlah rasa ingin tahu anda ... kumpulkan pelbagai macam informasi, pertimbangkan beberapa kemungkinan solusi untuk sebuah persoalan, dan sebagainya.Berpikir logis ... hindari "lonjakan" emosi atau tanggapan yang muncul seketika dari batok kepala anda; cermati persoalan dari segala sisi; ajukan solusi yang sehat dan masuk akal; kemudian landasi pertimbangan anda dengan solid.
Dari berbagai sumber terkait
1 comment:
thanks sharing ilmunya gan. mantep bangetttttttttttttttttt
Post a Comment