Sunday, August 25, 2013

Basis dan Topik Tulisan

Basis dan Topik Tulisan

Seperti yang sudah disinggung di pada tip sebelumnya, tulisan opini adalah berupa tanggapan dari fenemona yang lagi tren saat ini. Dalam konteks tulisan opini di koran, maka tulisan yang perlu kita tanggapi adalah sebagai berikut:

1. Isi Editorial/Tajuk sebuah media.2. Headline/Berita utama sebuah media.3. Tulisan opini.4. Hari besar nasional dan internasional.Siapapun yang ingin jadi penulis/pengamat hendaknya tidak pernah melewatkan tiga poin pertama di atas setiap kali membaca sebuah koran. Dan selalu mengingat poin ke empat.(1) Tanggapan Editorial/Tajuk sebuah media adalah suara atau sikap resmi dari media yang bersangkutan tentang sebuah kasus/kejadian tertentu; sesuai dengan misi media tsb. Menanggapi editorial/tajuk di harian Kompas tentu saja berbeda dengan cara kita menanggapi editorial di harian Republika, misalnya. Umumnya menanggapi tulisan editorial/tajuk harus cepat. Idealnya, tanggapan untuk tajuk/editorial hari ini dapat dikirim hari ini juga sehingga dapat dimuat esok harinya di media terkait. Namun, kalau tanggapan kita baru selesai dalam dua hari, teruskan dikirim ke media terkait, karena peluang untuk dimuat masih tinggi terutama untuk media yang tak sebesar Kompas.(2) Tanggapan Headline Media/Berita Utama juga bisa dijadikan pijakan untuk menulis. Jangan lupa untuk mencatat nama media/tanggal/bulan headlines yang kita kutip.

(3) Tanggapan Artikel Opini. Artikel opini dikenal juga dengan istilah artikel OP-ED (singkatan dari opini-editorial). Umumnya artikel OP-ED yang menanggapi artikel OP-ED lain berisi tambahan yang lebih lengkap dari yang dibahas sebelumnya atau menentang artikel yang ditanggapi.

(4) Hari besar nasional/internasional adalah tulisan yang isinya berkaitan dengan hari besar pada saat itu. Contoh, pada sekitar 21 Januari mendatang adalah Hari Raya Idul Adha. Siapkan sejak sekarang tulisan yang berkaitan dengan hari idul adha. Dan kirimkan segera ke media sebelum hari H.

Catatan: Umumnya kita mengirim tulisan yang berdasarkan tanggapan atas Editorial atau Headlines pada media yang kita tanggapi. Contoh, tanggapan Editorial/Headlines di Kompas hendaknya dikirim ke Kompas, tidak ke media lain. Namun kalau tidak dimuat di media terkait, tak ada salahnya dikirim ke media lain. Sedangkan untuk artikel OP-ED yang berkaitan dengan hari besar nasional/internasional dapat dikirim ke media mana saja.

Kalau Artikel Tidak DimuatUntuk Kompas dan Suara Pembaruan tulisan yang tidak dimuat biasanya mendapat pemberitahuan dari redaksi. Sedangkan di koran-koran lain tanpa pemberitahuan. Umumnya, kalau dalam waktu seminggu tulisan tidak muncul, berarti tulisan kita tidak dimuat dan bisa dikirim ke media/koran lain.

Jangan lupa, tulisan yang sama dapat dikirim ke dua media yang berbeda asal tidak sama segmennya. Contoh, satu tulisan bisa saja dikirim ke media nasional dan media daerah (tentu saja tidak sekaligus di-CC-kan dalam satu email). Tapi jangan sekali-kali mengirim satu tulisan ke dua media yang sama segmennya. Seperti pada dua media nasional atau dua media daerah yang sama. Contoh, Kompas dan Republika (dua media nasional) atau Waspada dan Harian SIB (media daerah Medan).

Dikutip dari berbagai sumber

REFERENSI PENGALAMAN TULIS-MENULIS CERPEN DAN LAIN-LAIN

Menulis Cerpen Berdasarkan Kisah Nyata

AM for everyone

Kisah nyata kehidupan bisa dituangkan dalam berbagai bentuk karya seni, baik bersifat verbal maupun visual. Hasilnya sebagaimana sering kita temukan di berbagai dunia seni, misalnya seni lukis, fotografi, seni audio visual, seperti sinetron, kisah nyata, karya sastra, biografi, dan lainnya. Karya sastra banyak yang bersumber pada kisah nyata, bahkan yang disusun berdasarkan kisah nyata menjadi biografi, riwayat hidup, dan mungkin kisah perjuangan bangsa atau kehidupan seseorang.

Tidak hanya hal di atas yang bisa dirangkaiberdasarkan kisah nyata. Cerpen juga bisa. Dan sebenarnya, ini bukan "barang baru". Sebab, nyaris semua pengarang pernah menulis cerpen berdasarkan kisah nyata, baik itu pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain atau kejadian tertentu yang dilihat oleh si pengarang.

Lantas, kenapa harus dibahas di topik ini? Apa istimewanya?
Saya merasa perlu membahasnya, karena baru-baru ini saya membaca dua cerpen dari dua orang teman yang diangkat dari sebuah kisah nyata. Setelah saya baca, terus terang saya kecewa. Sebab cerpen tersebut sama persis dengan cerita aslinya. Isi cerita, alur cerita, semuanya sama. Yang berbeda hanya nama-nama tokoh dan settingnya. Selain itu, cerpennya pun disampaikan dengan gaya yang biasa-biasa saja.

Sebenarnya, dalam mengangkat sebuah kisah nyata ke dalam cerpen, bagaimana teknis menulis yang baik?

Secara umum, tekniknya sama saja dengan teknik penulisan lainnya. Tapi menurut saya, yang perlu diingat adalah: kisah nyata tersebut hanyalah sebuah IDE. Sebagai ide, kita bebas mengembangkannya. Mau kita ubah ceritanya, ditambahi, dikurangi, dan seterusnya, semua terserah kita. Tak ada yang melarang. Toh kisah nyata itu bukan sebuah sejarah, hanya peristiwa sehari-hari yang biasa.

Memang, bukan berarti kita tidak boleh membuat cerpen yang isinya sama persis dengan kisah nyatanya. Ya boleh-boleh saja, dong. Yang saya maksud pada topik ini adalah: Kita jangan sampai berpikir bahwa cerpen yang kita tulis tidak boleh merubah sedikit pun kisah nyatanya. Sebab sekali lagi, kisah nyata tersebut bukan sebuah sejarah.

Sekadar berbagi tips, berikut adalah contoh langkah-langkah yang bisa kita lakukan dalam mengubah sebuah kisah nyata menjadi cerpen.

1. Carilah bagian dari kisah nyata itu yang kita anggap menarik. Bagian yang kurang menarik, atau tidak menarik sama sekali, lupakan saja.

2. Galilah bagian yang menarik tersebut, lalu kembangkan ceritanya sesuai keinginan kita.

3. Kalau perlu, carilah sudut pandang yang unik, agar ceritanya menjadi lebih bagus.

Setelah itu, kita bisa langsung menulis cerpennya. Saat menulis ini, kita sudah boleh membuang jauh-jauh si kisah nyata tersebut. Lupakan saja. Toh kita sudah punya modal berupa ke-3 poin di atas.

Yang juga penting, jangan merasa "terbebani" oleh hal-hal yang melekat pada kisah nyata tersebut, sebab kita bisa mengubah semuanya sesuka kita. Sebagai contoh, si pelaku pada kisah nyata adalah seorang pria. Ketika diubah jadi cerpen, jenis kelaminnya kita ubah jadi wanita. Atau, kisah nyata ini terjadi di Jakarta, tapi pada cerpennya diubah menjadi New York. Dan seterusnya. Ini semua boleh-boleh saja. Asalkan cerita yang kita buat tetap logis (masuk akal) dan menarik.

Ok, semoga bermanfaat ya.
Tags: kiat_penulisan
Prev: Yang terselamatkan dalam Tragedi Mandala
Next: Duh... aku telah mengeksploitasi anakku!
reply share



View replies:Chronological Reverse Threaded

replyemprit wrote on Sep 12, '05kalo gitu caranya, kisah nyatanya jadi hilang dong mas Jonru. ohya, kisah nyata saya pernah dijadikan cerpen oleh seorang temen saya, pas dia merubah (maksudnya mau mengembangkan mungkin) berbagai hal dalam kisah itu, eh saya sebagai si empunya kisah nyata itu ko' jadi gimanaaa gitu mbacanya. agak aneh...

replyjonru wrote on Sep 12, '05emprit saidkalo gitu caranya, kisah nyatanya jadi hilang dong mas Jonru. ohya, kisah nyata saya pernah dijadikan cerpen oleh seorang temen saya, pas dia merubah (maksudnya mau mengembangkan mungkin) berbagai hal dalam kisah itu, eh saya sebagai si empunya kisah nyata itu ko' jadi gimanaaa gitu mbacanya. agak aneh... Seperti yang saya sebutkan di atas, kisah nyata itu hanya sebagai IDE. Dan sepanjang kisah nyata itu bukan sebuah sejarah (yang tidak boleh diutak-atik seenaknya), maka pengarang bebas saja merubah sekehendak dia. Soal kisah nyatanya jadi hilang, itu saya kira tidak masalah. Kalau tidak mau hilang, jangan jadikan cerpen, tapi buku harian, atau biografi, hehehe...Soal kisah nyata mbak afiyah yang dicerpenkan, saya kira juga amat wajar jika mbak merasa aneh setelah membacanya. Berarti si penulis berhasil meramu kisah nyata tersebut menjadi sebuah cerpen yang berbeda. Tapi kalo misalnya mbak ingin agar bagian-bagian tertentu tetap dipertahankan, boleh juga diberitahu pada penulisnya, agar dia jangan sembarangan mengutak-atik.Maaf kalau tidak berkenan ya... :)
replyemprit wrote on Sep 13, '05jonru saidKalau tidak mau hilang, jangan jadikan cerpen, tapi buku harian, atau biografi, hehehe... iya, betul juga antum. heheheohya, berarti kalau ada film atau novel yang dikasih embel2 'based on true story' itu idenya aja dong (aduh, padahal selama ini saya kira sampei detail2nya juga true story, ketipuuuuuuuuuu:-))Tapi kalo misalnya mbak ingin agar bagian-bagian tertentu tetap dipertahankan, boleh juga diberitahu pada penulisnya, agar dia jangan sembarangan mengutak-atikapakah ini berarti juga bahwa kita harus izin dari empunya kisah jika mau menjadikan kisah nyatanya sebagai cerita, meski hanya menjadi ide saja? siapa tahu setelah membaca nanti dia merasa aneh kayak saya .. hehehe.

replyjonru wrote on Sep 13, '05emprit saidapakah ini berarti juga bahwa kita harus izin dari empunya kisah jika mau menjadikan kisah nyatanya sebagai cerita, meski hanya menjadi ide saja? siapa tahu setelah membaca nanti dia merasa aneh kayak saya .. hehehe. kalo ini sih, menurut saya relatif banget mbak. Sepanjang cerpennya itu enggak menyebabkan si pemilik kisah jadi terbuka aibnya, tercoreng nama baiknya, dst, saya kira enggak perlu minta ijin deh. Apalagi kalau di cerpennya tidak disebutkan bahwa cerita ini diangkat dari kisah nyata, lantas semua nama tokoh, lokasi, dst sudah diubah... tentu orang lain (termasuk si pemilik kisah nyata) mungkin tidak tahu lagi bahwa cerpen tersebut diangkat dari kisah nyata tertentu.Tapi khusus untuk kisah nyata yang kejadiannya sudah menjadi milik publik (misalnya kasus tertukarnya bayi yang terjadi beberapa tahun lalu, atau kasus seorang anak bernama arie hanggara yang disiksa orang tuanya hingga mati, atau cerita sayekti dan hanafi), saya kira perlu deh untuk minta ijin ke si pemilik kisah. Kalau enggak, nanti kita dikira menjiplak, karena kisah nyata tersebut telah diketahui oleh hampir semua orang.

replyemprit wrote on Sep 13, '05oooh gitu ya?! *sambil manggut-manggut* wah trimakasih banyak nih mas Jonru, jazaakumulloh khoiron.

replyreincarbonated wrote on Sep 14, '05mungkin seharusnya bukan ditulis "berdasarkan sebuah kisah nyata". cukup ditulis "diilhami oleh sebuah kisah nyata".. inspired from a true story. gitu aja kali ya :)
replyjonru wrote on Sep 14, '05reincarbonated saidmungkin seharusnya bukan ditulis "berdasarkan sebuah kisah nyata". cukup ditulis "diilhami oleh sebuah kisah nyata".. inspired from a true story. gitu aja kali ya :) wah.. bener jugathanks mas arya atas masukannya :)

replyemprit wrote on Sep 15, '05kalo yg di film2 dan ada embel2 'based on true story' bukan 'inspired', gimana tuh? malah ada yang langsung 'true story' aja. (soalnya, saya tuh mendalami banget kalo lihat film atao baca cerita, hehehe. apalagi kalo ada embel2 true story, uuh bisa ngga' kedip nontonya)

replysondang27 wrote on Jul 26Kebanyakan cerpen yang saya tulis adalah berdasarkan kisah nyata (pengalaman saya sendiri) dan memang ada bagian-bagian tertentu yang saya tambahi supaya jalan cerita bisa nyambung. Dan ada juga cerpen yang saya buat berdasarkan cerita yang dikisahkan oleh teman saya mengenai temannya.Ketika saya mengarang berdasarkan cerita tersebut saya mereka-reka bagaimana awal cerpen kira-kira. Intinya adalah bahwa memang ada bagian tertentu dalam cerita yang kita caplok dari kisah nyata. Tapi anehnya sekarang saya sepertinya kehilangan ide dan semangat sama sekali dalam menulis cerpen setelah hampir semua pengalaman saya yang saya anggap menarik telah saya cerpenkan. Hampir satu setengah tahun berhenti sampai sekarang. Dulu saya punya target dalam menulis yakni harus selesai tiga cerpen dalam seminggu dan waktu menulis saya adalah setiap sabtu dan Minggu. Sekarang satu cerpen pun tidak ada ...Apakah bang Jonru pernah mengalami apa yang pernah saya alami? Bagaimana kira-kira cara mengatasinya?




Pengembaraan Seorang Laksana
Ditulis oleh I Kurniawan

Minggu, 30 Januari 2005

SUATU perjumpaan barangkali sebuah cerita yang baik dan buruk sekaligus. Saat itu, di tahun 2000, aku untuk kesekian kalinya berjumpa dengan A.S. Laksana. Lelaki kelahiran Semarang, 25 Desember 1968 itu kelak dinobatkan sebagai tokoh tahun 2004 bidang sastra oleh majalah Tempo. Untuk pertama kalinya Laksana terkena "demam" bikin situs web setelah menyaksikan aku mendemonstrasikan cara mudah membuat sebuah halaman situs. Sejak itu, lelaki yang semula gagap memegang mouse itu lantas berenang-renang dengan suka citanya di dunia teknologi informasi, bahkan berani membangun situs pertamanya, Akubaca.com. Komputernya dipasang bermacam-macam aplikasi. Sebagian tak jalan.

Sampai suatu ketika muncul pop up di layar monitornya dengan pilihan "yes" atau "no". Bila "no" maka komputernya ngadat, bila "yes" maka hard disk-nya diformat ulang. Tak ada pilihan lain bagi "programer" amatiran itu kecuali memejamkan mata lalu menekan tombol "yes", dan musnahlah sudah isi komputernya, termasuk sebagian naskah bakal novel Medan Perang. Tapi, ia kini bersahabat baik dengan komputer. Ketika kawannya, Yayan Sopyan, mempromosikan pembuatan lagu dengan aplikasi ModPlug Tracker, Laksana pun tak gagap lagi bermain-main dengan aplikasi itu. Ketika saya bersua dengannya kembali pada Rabu (19/1) lalu, Laksana mengajak saya menengok ruang kerjanya di lantai dua sebuah rumah di Jalan Jambu Nomor 22A, Kampung Utan, Ciputat, tak jauh dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Separuh ruangan itu dipenuhi kardus-kardus berisi buku-buku. Sebagian kecil buku memadati dua rak di dinding. Kebanyakan karya asing. Terlihat The Name of the Rose Umberto Eco, The Book of Black Magic Arthur Edward Waite, The World of Language Donald Merryman, Kamus Pepak Basa Jawa Sudaryanto dan Pranowo, dan kumpulan haiku Jepang Salad Anniversary Machi Tawara, Sejumlah karya sastra Indonesia berderet di satu tingkat rak.

Dua kamus Lexicon Webster Dictionary setebal bantal bersandar di salah satu rak dan setumpuk lengkap buku petualangan Karl May terbitan Pradnya Paramita di tingkat atasnya. Udara ruangan itu tak cukup segar. Tak ada jendela dan pengatur udara. Tiga komputer tua teronggok di salah satu sisi ruang. Sebuah komputer yang terlihat lebih baru dengan pelindung yang terbuka bercokol di sebuah meja yang tak seberapa besar. Itulah meja kerja Laksana. Di komputer itulah karya-karyanya tersimpan, termasuk beberapa biji lagu ciptaannya yang dengan bangga dipamerkannya malam itu. * * * * AKU TERLAHIR dengan nama...., ah aku rasa cukup kau mengenalku dengan nama A.S. Laksana saja. Akte kelahiranku telah hilang saat Semarang dilanda banjir, termasuk dokumen-dokumen lainnya. Jadi, cukuplah panggil aku Sulak saja, sebagaimana teman-temanku memanggilku. Wartawan Koran Tempo itu mendesakku menyebut nama lengkapku. Tapi, aku enggan. Aku bilang, ada satu rahasia yang kadang ingin orang simpan dan aku ingin menyimpan rahasia itu.

Sedari kecil aku suka menulis puisi dan cerpen yang kujilid rapi menjadi sebuah buku yang dihiasi vignet. Kalau kau bertanya, dari mana darah kepenulisanku, barangkali aku bisa sebut dari kakekku di garis ibu. Kakekku, Mbah Sumo, punya sebuah peti besar yang hanya boleh dibuka setelah dia meninggal. Ketika dibuka, ternyata isinya setumpuk catatan harian yang sangat rinci. Di situ tercatat, misalkan, bakal kakakku yang meninggal karena ibuku keguguran saat mengandungnya. Seperti kakek, aku suka menulis buku harian. Ada beberapa buku yang kutulis, tapi semuanya hilang entah ke mana. Beberapa kali buku harianku dibaca orang, aduh, rasanya malu sekali, seperti diri ini ditelanjangi. Aku juga senang mengeksplorasi segala hal. Barangkali karena darah bapak mengalir padaku. Bapakku, Karyono, adalah seorang timer bus kota Damri di Semarang. Tapi, ia pandai bertukang dan suka bereksperimen di waktu senggangnya. Dia, misalkan, pernah bikin minyak rambut dan mercon. Waktu SD aku sering mengirim tulisan ke majalah anak-anak di kotaku, tapi tak pernah dimuat.

Semasa di SMA aku suka menulis puisi dan teman-temanku menganggap aku penyair dan jadi rujukan dalam pelajaran bahasa Indonesia. Setidaknya, pengalamanku dalam membaca lebih banyak ketimbang teman-teman, karena sejak SD aku membaca Horison yang kudapat di loakan meski tidak paham. Aku membaca cerpen Budi Darma dan tulisan-tulisan lain dengan alot sekali. Tidak aku pahami, tapi nikmat. Rasanya seperti tersesat-sesat tapi mengasyikkan. Tapi, ada juga yang bisa kupahami, seperti timbangan buku. Dari sana aku mengerti soal puisi dan bagaimana membaca puisi yang baik. Tapi, saat aku membaca puisi di depan kelas, suaraku tak keluar. Sang penyair ini pun akhirnya dapat nilai 6 untuk bahasa Indonesia.

Aku pernah berbuat usil waktu Kelas II SMA. Suatu kali ada tugas membuat cerpen. Aku lantas menyalin sebuah cerpen Danarto. Kau tahu, berapa nilaiku? Enam, Bung. Jadi, cerpen Danarto itu nilainya cuma enam. Tapi, waktu Kelas II SMA, satu cerpenku, "Suara-suara", dimuat di harian Kartika yang kantornya persis terletak di sebelah sekolahku. Aku lupa bagaimana isinya. Yang kuingat cerpen itu berkisah tentang seorang janda muda dan sangat melodramatis. Naskahnya aku sudah tak punya lagi. Memang, pengarsipanku buruk sekali. Buku kumpulan cerpen Bidadari yang Mengembara (KataKita, Mei 2004) berhasil diterbitkan dengan mengumpulkan naskah-naskah itu dengan susah payah. Karena berpuisi tak bersuara, aku memutuskan ikut teater SMA. Maunya sih biar bisa tampil dengan penuh percaya diri. Tapi, aku keluar setelah ikut 3 kali latihan. Tapi, dari teater setidaknya aku mengenal yang namanya timing dan soal dramaturgi lainnya yang berguna ketika nantinya aku menulis cerpen. Setelah itu aku masuk Jurusan Bahasa Indonesia IKIP Semarang pada 1987.

Orang tuaku jengkel, mereka ingin aku jadi arsitek. Tapi, aku ingin jadi guru bahasa Indonesia. Gagasan jadi guru itu ceritanya begini. Dulu ibuku, Susiati, berdagang di pasar. Setiap hari ia beli kertas pembungkus dari koran, buku, dan majalah. Di antara tumpukan kertas itu aku menemukan majalah penggemar buku yang memuat wawancara dengan Romo Mangunwijaya tentang pendidikan. Nah, Romo Mangun bilang, salah satu persoalan pendidikan di Indonesia adalah tidak mengajarkan cara orang berkomunikasi, cara berbicara, cara menulis. Juga aku mendengar bagaimana sekolah-sekolah di luar negeri mengajarkan orang mengarang dari kecil. Jadi, sebenarnya aku ingin jadi guru mengarang, tapi karena tak ada pelajaran mengarang, yang ada pelajaran bahasa Indonesia, maka aku ingin jadi guru bahasa Indonesia. Tapi, setelah mengikuti beberapa kuliah di IKIP, aku pikir tak mungkin jadi guru yang baik di situ. Lalu orientasiku agak berubah. Aku ingin jadi wartawan, padahal maksudnya ingin jadi sastrawan.

Untuk jadi wartawan aku masuk Jurusan Komunikasi Fisipol UGM Yogyakarta pada 1988. Kuliah beneran yang kutempuh cuma 2 tahun. Setelah itu nggak keruan, aku mengembara ke mana-mana. Aku selalu diganggu keinginan untuk menulis. Beragam artikel kutulis. Aku menulis cerpen lagi pada 1992 yang dimuat di Kompas dan Jawa Pos. Aku tak ingat judulnya apa. Pada Januari 1993 aku hijrah ke Jakarta dan bikin Gorong Gorong Budaya bersama Hasif Amini, Yosrizal, Sitok Srengenge dan Najib Azca. Aku juga turut mendirikan tabloid DeTIK hingga akhirnya dibredel pada 1994. Di media itu aku menulis kolom di rubrik "Podium" yang kemudian diterbitkan sebagai Podium DeTIK (1995). Kemudian krisis melanda Indonesia. Setelah itu aku sempat kembali aktif sebagai wartawan di tabloid Detak hingga akhirnya keluar dan mendirikan Yayasan Akubaca yang bergerak di bidang penerbitan pada 2000.

Penerbitan ini lahir dari gagasan bahwa penyerapan sastra dunia hanya mungkin dilakukan dengan strategi Jepang: penerjemahan besar-besaran. Sejumlah karya sastra dunia, seperti karya Milan Kundera dan Jumpha Lahiri, berhasil kuterbitkan. Bila ke toko buku aku selalu mencari dan membeli buku-buku novel, cara berpikir, dan manajemen. Dua jenis buku pertama cukup berhasil kupahami. Tapi, jenis buku terakhir itu tak pernah mampu kupahami. Tampaknya itulah alasan mengapa Akubaca akhirnya bangkrut dan ditutup pada 2003. Tapi, kau tahu, aku tetap ingin menjadi guru. Maka, tahun lalu, bersama beberapa teman aku mendirikan Jakarta School, sebuah sekolah yang mengadakan kursus penulisan kreatif. Sekolah kami telah berjalan dan kini aku, Yayan Sopyan dan Agung Bawantara menjadi guru di enam kelas. * * * * * LAPAR pada akhirnya menyerangku. Saat itu aku duduk di toko buku Rumahtom di lantai II Wisma Usaha UIN Jakarta, Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat.

Toko seukuran kamar kos mahasiswa itu sepi-sepi saja sore itu. Toko itu satu atap dengan Jakarta School, sekolah asuhan Laksana. Di depanku, Laksana yang hari itu berkemeja batik cokelat muda lengan pendek dan bercelana jins biru duduk santai sambil menikmati sebatang rokok Gudang Garam Merah di bibirnya. Rambutnya yang gondrong diikat di belakang. Aku mengajak dia makan. Waktu yang tak tepat sebenarnya, karena jam masih menunjukkan pukul 17.00 WIB. Tapi, dia mengangguk dan kami pun menuju ke Bakmi Yogya di belakang kampus UIN Jakarta. Di warung itu tak banyak pilihan yang tersedia, maka jadilah kami berdua memesan nasi ruwet daging ayam dan es teh manis. Warung itu sepi, padahal suasana cukup nyaman dan teduh untuk suatu rendezvous.

"Berapa lama kau menulis cerpen? Kau penulis cepat apa penulis lambat?" tanyaku sambil menyeruput es teh. "Ada yang semalam jadi seperti 'Telepon dari Ibu'. 'Menggambar Ayah' tujuh tahun. Kalau dari inspirasinya lebih lama lagi, karena aku pertama kali melihat orang menulis grafiti di tembok itu waktu SMA. Lalu, waktu 1990-an aku membaca berita seorang artis mengumumkan diri akan menjadi ibu tunggal, aku terdorong untuk menggambarkan anak kecil yang menanyakan soal bapaknya." "Soal sumber ilham penulisan cerpen di Bidadari yang Mengembara ini apa saja?" "'Cerita tentang Ibu yang Dikerat' itu sisa gagasan yang tak tertampung ketika menulis cerita bersambung (Medan Perang) di Koran Tempo. Sedangkan soal banci dalam 'Bangkai Anjing' karena aku pernah ketemu sopir truk banci saat masih kecil dan suka menumpang truk saat liburan akhir pekan. Sedangkan 'Seorang Ibu yang Menunggu' itu ditulis habis menonton film Rob Roy dan aku ingin memasukkan pertanyaan anak kecil di film itu, 'Dari mana bayi keluar?'.

Menulis cerpen ini agak cepat menulisnya. Sama seperti 'Telepon dari Ibu'. Yang terakhir ini aku tulis ketika aku mendapat surat dari temanku di luar negeri. Dia menulis tentang betapa dinginnya di sana. Coba kamu bayangkan, katanya, bila ada di puncak Gunung Bromo tanpa sehelai benang pun. Nah, aku ingin memasukkan kalimat itu. Cerpen ini kutulis dalam semalam langsung jadi." "Di cerpen-cerpenmu sepertinya kamu terobsesi dengan figur bapak. Ada bapak yang dibenci, ada yang dicintai. Sebenarnya hubunganmu dengan bapakmu normal nggak sih?" "Normal," katanya. Lantas, buru-buru menambahkan, "Tapi, kan galak sekali. Waktu kecil, bapakku galak sekali, mungkin karena aku nakal. Aku pernah dilempar ke sungai ketika aku nawu (membendung sungai untuk menangkap ikan)." Aku tertawa. "Tapi," ia melanjutkan, "Orangtua memang seringkali menjengkelkan. Pada saat anak lelaki puber, misalnya, dia dibiarkan sendiri, nggak pernah diurus orangtuanya.

Tiba-tiba tegang sendiri begitu, orangtuanya nggak pernah ngajak ngobrol kek atau ngasih pemahaman tentang itu. Tabu seperti itu. Jangan-jangan memang iya, orangtua itu kadangkala menjengkelkan. Aku tersenyum. "Tapi, nggak sampai membuat dendam sehingga kau ingin membunuhnya, kan?" kataku. "Oh, nggak. Dia baik kok," jawab Laksana mantap. "Soalnya, Bung, karakter tokoh-tokohmu kebanyakan begitu membenci sosok ayah. Maksudku, orang yang tak mengenal kamu bisa menduga kamu membenci bapakmu. Coba, dalam 'Rumah Unggas' itu, misalnya, si Seto mengganti minuman ayahnya dengan air yang diambil dari ceruk kakus. Kan, kejam amat itu anak. Kau bertanggung jawab kalau ada anak-anak yang ikut-ikutan menggunakan metode itu, lho," kataku bercanda. Laksana tertawa lebar, kumisnya berkibar-kibar. "Tapi, bapak harus waspada juga, dong," katanya. Perbicangan kami berlangsung cukup lama. Adzan Magrib terdengar cukup jelas dari sebuah masjid.

Tak lama kemudian, dua pasang anak muda yang tampak masih mahasiswa masuk ke warung itu dan duduk di lesehan yang tak jauh dari kami. Aku menengok mereka sebentar lalu kembali ke Laksana yang menghentikan makannya yang baru habis separuh dan mulai membakar rokoknya. Dia perokok berat, sehari bisa habis tiga bungkus rokok. "Sebenarnya menulis cerpen itu menurutmu bagaimana sih? Menceritakan sisi-sisi kemanusiaan atau apa?" tanyaku. Dia diam sejenak. Ada jeda yang kadangkala cukup panjang bila berbincang-bincang dengan Laksana. Akhirnya dia menjawab: "Sebetulnya karena aku ini bisa dipercaya teman-teman karena aku dianggap bisa pegang rahasia.

Menyimpan rahasia itu kan sulit, tapi membongkar rahasia juga buruk. Cuma, harus ada sesuatu untuk dilakukan untuk menguras itu, yakni cerpen. Cerpen-cerpenku pasti campuran dari berbagai karakter, sudah tak bisa dideteksi dari mana. Mungkin suatu ketika ada yang seperti diomongin orang ini, mungkin kalau temanku baca bagian itu ia ingat, o, ini yang kuceritakan waktu itu. Ada juga dari bacaan." "Dalam cerpen-cerpenmu ada banyak subplot. Kadang kau menawarkan ke pembaca untuk membatalkan sebagian plot yang sudah terbangun. Apa ini semacam strategi berceritamu?" tanyaku sambil membereskan piringku yang sudah tandas. "Awal menulis, ketika masih SMA, yang mudah kupahami cerita-cerita konvensional yang menawarkan keasyikan alur, plot. Lama-lama, apa hanya begini cara membuat cerita? Karena, ludruk itu bisa tiba-tiba ada senggakan (berdiskusi dengan penonton). Kan bisa. Dulu, ada tetanggaku orang tua yang umurnya sudah seratus tahun lebih.

Dia suka mendongengi anak-anak dengan jeda beberapa kali yang diisi nasihat-nasihat. Nah, ada cara bercerita seperti itu dan tetap menyenangkan. Maka, dalam tulisan mestinya bisa. Narator itu dalam cerpen mungkin bisa ikut campur." "Kau punya hambatan dalam menggunakan bahasa Indonesia dalam menulis?" tanyaku. Aku ingin jadi guru bahasa Indonesia itu sebetulnya karena sedih dengan bahasa Indonesia. Pada pemakaian bahasa Indonesia yang tidak berkembang-berkembang. Di mana-mana orang berbahasa Jakarta sekarang, yang menurutku tak bisa untuk berpikir, menyampaikan sesuatu.

Misalnya, 'pokoknya gimana gitu'. Itu kan malas. Kalau untuk menyampaikan perasaan saja sulit, apa tidak kesulitan sekali untuk berpikir ilmiah kalau begitu? Makanya, kita harus berterima kasih sekali kepada orang-orang seperti Gunawan Mohamad yang masih terus menggali bahasa Indonesia sampai ke kemungkinan terbaik yang bisa dilakukan." "Ngomong-ngomong, sebenarnya siapa orang atau pengarang yang paling kau kagumi?" tanyaku. Ini pertanyaan iseng sebenarnya, tapi jawabannya tak terduga. "Mohammad Ali yang petinju itu," jawabnya. "Dia orang yang sangat mengerti plot. Tinjunya menjadi sebuah tontonan yang menarik. Dia menulis puisi, dia ramalkan, kamu kupukul jatuh pada ronde kedelapan atau berapa begitu. Itu kan sudah membuat pembukaan yang sedap. Orang jadi ingin tahu, betul tidak bahwa pada ronde itu dia bisa menjatuhkan lawannya.

Lawannya jadi dihantui oleh ronde kedelapan itu. Di situ konsentrasinya buyar. Nah, di situ Ali jadi karakter utama. Jadi protagonis." "Tapi, dia pandai membuat plot yang sangat bagus. Ketika kawannya kepayahan, sebetulnya dia bisa jatuhkan, tapi kadang dia tidak jatuhkan, dia hanya elus-elus kepalanya. Dari bukunya yang kubaca, The Greatest, karena penonton itu bayar. Ketika aku belajar tentang plot, aku melihat Ali adalah pembuat plot yang baik." "Tapi, mengarang itu kan tidak cuma plot. Ada dialog. Soal dialog, aku pelajari dari ketangkasan Hemingway. Tentang tema, aku temukan pada Dataran Tortilla-nya Steinbeck. Dia bisa melukiskan kemelaratan dengan kegembiraan.

Tidak melodramatis, tapi gembira sekali. Lalu ketemu Prajurit Schweik-nya Jaroslav Hasek. Ada kecerdasan yang tak disangka-sangka dari keluguan. Belakangan aku bertemu banyak hal, seperti Il Postino Antonio Skarmeta. Ternyata, sesuatu yang tidak disampaikan secara ruwet itu menyenangkan. Bahwa sastra itu seharusnya tidak ruwet, sesuatu yang menggembirakan." "Setelah bikin Akubaca, Jakarta School dan setumpuk cerpen kau mau apa lagi?" tanyaku. "Menang Nobel," jawabnya. "Iya, tapi mau bikin apa supaya menang Nobel," desakku. "Karya sastra yang baik. Apa lagi?" jawabnya lalu tertawa. Dia mengeluh bahwa kadang orang ingin melakukan eksperimen, "Tapi, tak ada yang mau membiayai." Telepon genggamnya berdering. Dia menerima telepon dari seseorang. Rupanya bapaknya yang menanyakan apakah Ciputat banjir karena ia menonton berita di televisi yang mengabarkan banjir di Jakarta. Hitam sudah melumuri langit Jakarta. Laksana mengajakku menjenguk ruang kerjanya di rumahnya yang letaknya tak jauh dari situ. Kami pun berkemas, lalu berangkat dengan berboncengan di sepeda motornya.

(dikutip dari rubrik Penganrang Ruang Baca Koran Tempo, edisi 30 Januari 2005)


Mulai Dari Menulis
Ditulis oleh Nila Zaidan
Rabu, 02 Maret 2005

Saat duduk di sekolah dasar beberapa puluh tahun lalu hampir seluruh teman-teman di kelas saya paling jengkel saat guru kelas mulai berkata: Sekarang waktunya pelajaran mengarang! Belum selesai Pak Guru bicara, serempak mulut teman-teman berbunyi yaaaaahh.Apa gunanya belajar mengarang? "Enggak penting! Aku ingin jadi astronot," bisik Elita, si juara kelas. "Iya, aku mau jadi ahli keuangan, buat apa belajar mengarang?" balas Susilo. Bla, bla, bla, bla....Ingatan masa kecil dulu tebersit kembali mendengar seorang teman menyarankan kepada saya untuk belajar creative writing,saat saya curhat bahwa rasanya pekerjaan dan otak saya sedang stuck, mentok. Bagaimana karier mau bagus kalau sedikitsedikit otak saya stuck, enggak tahu mau berinovasi apa, ruwet!Belajar menulis? Apa hubungannya?

Kembali pertanyaan yang sama dengan teman-teman saya puluhan tahun lalu muncul.Itulah asal muasal kenapa saat ini saya belajar menulis di Jakarta School, Creative learning Center, sebuah sekolah yang dibidani oleh AS laksana, Yayan Sopyan, dan Agung Bawantara yang mengadakan kursus penulisan kreatif dari menulis novel, biografi, skenario, dan buku panduan lainnya.Pasti ada yang bertanya-tanya kenapa hanya karena ingin sukses dalam karier saya jadi belajar menulis. Jawabannya karena dengan menulis saya bisa membenahi pikiran dan menata perencanaan apa yang akan saya lakukan dengan lebih runtut serta berpikir lebih kreatif. Dengan belajar menulis saya juga bisa berpikir lebih cepat, lebih logis, lebih fokus atau lebih kreatif. Atau saya juga bisa menghilangkan keruwetan berpikir dengan belajar menulis.

Tangan dan Otak Seperti yang saya kutip dari tulisan AS Laksana bahwa ketika kita menulis, tangan kita melakukan sesuatu. Jika toh Anda bukan seorang penulis atau Anda tidak ingin menjadi penulis, menulislah. Akrabkan tangan Anda dengan otak Anda. Sebab apa yang ditulis oleh tangan Anda adalah langkah pertama yang akan mewujudkan apa yang ada di kepala Anda. "Jika Albert Einstein tidak bisa menulis, teori relativitas tak akan tercipta sebab tak akan ada yang paham teori tersebut jika tak bisa dikomunikasikan. Einstein bukan penulis tetapi ia sudah menulis lebih dari 2.000 makalah. Dengan menulis ia menuangkan segala kemungkinan yang kemudian melahirkan teori-teori besarnya," jelas Sulak, panggilan akrab AS Laksana.Pendapat Sulak ini didasarkan pada keyakinannya bahwa kita perlu mendekatkan tangan dengan otak, itulah kunci kreativitas.

Otak merancang sesuatu dan tangan mengerjakannya. "Ketika Anda menulis, otak Anda merekam dengan baik setiap gagasan dan dengan demikian Anda tak mudah sesat dan tak akan kehilangan ilham," imbuhnya.Jadi menekuni disiplin ilmu apa pun, kita perlu menulis agar otak makin terasah, agar tak kehilangan jejak alas segala yang telah kita pelajari.Yayan Sopyan bahkan mengatakan begini: "Jangan percaya apa yang ada dalam pikiran Anda sebelum Anda tuliskan. Menulis itu merupakan cara, media untuk jadi apa pun," ujar Yayan. Ditambahkan oleh Agung bahwa orang tak akan punya karier bagus jika bicaranya abstrak. Dengan menulis kita melatih mengkonkretkan apa yang dipikirkan, membenahi pikiran.

"Posisikan anda sebagai sepatu ..."Dalam setiap sesi, ketiga pengasuh belajar menulis itu selalu menyelipkan bagaimana caranya membenahi pikiran, berpikir kreatif. terencana, dan runtut seperti membiJat outline. Saya pikir-pikir kok iya ya, dalam bentuk yang paling sederhana pun semua orang harus punya outline.Tentu saja apa yang mereka ajarkan menjadi dasar untuk orang-orang yang berencana menjadi penulis. Bahkan ketika orang tak berniat jadi penulis dan ingin mengembangkan sektor lain, dia bisa merumuskan apa yang ada di kepalanya dalam tulisan yang mudah dipahami.Yang tak kalah menarik adalah mereka mengajarkan juga bagaimana pentingnya berpikir dengan sudut pandang yang berbeda.

"Untuk membuat terobosan baru atau inovasi lainnya, penting sekali berpikir dari sudut pandang berbeda. Posisikan Anda sebagai sepatu yang tiap hari ke kantor," kata Yayan. Jadi sepatu? liiih, jijik!, batin saya. Tapi itu perlu dipikirkan, katanya lagi.Atau pelajaran lain bagaimana saya berpikir "mengawinkan suami saya dengan kursi", misalnya. Wah, kepala saya benarbenar diberi pencerahan! Saya jadi semakin tertarik. Tak hanya karena kekreatifan berpikir yang saya dapatkan tapi juga saya diajarkan teknik berpikir lainnya.Misal saja teknik menemukan gagasan, teknik mengembangkan gagasan, merumuskan gagasan, membuat sistematika, berpikir sistematis, teknik deskripsi, teknik komunikasi, riset dan sebagainya. Tak hanya teori, dipraktikkan juga pelajaran seperti freewriting, brainstorming, dan clustering.Selain itu, mereka mengajarkan teknik ke luar dari kebuntuan menulis dan berpikir atau writer's block.

Ini yang paling sering saya alami. Ternyata belajar menulis tak hanya untuk penulis, kan? Sekali lagi otak saya serasa diberi pencerahan bagaimana meningkatkan karier saya agar sukses. Saya jadi teringat lagi kepada teman SD saya Elita dan Susilo yang jengkel dengan pelajaran menulis. Ingin sekali saya kembali ke masa lalu dan berkata: "Elita jadi astronot sukses itu harus berpikir..., Susilo jadi ahli keuangan sukses itu harus berpikir... dengan belajar menulis kita jadi terbiasa berpikir... bla-bla-bla.(Disalin dari majalah Her World Indonesia edisi Maret 2005, halaman 190 - 191)

Apa Saja yang Bisa Anda Tulis?

Ditulis oleh AS.Laksana
Selasa, 01 Maret 2005


Bagaimana tanggapan alamiah anda atas sebuah pertanyaan? Memberikan jawaban tentu saja. Sebuah pertanyaan menghendaki jawaban. Makin menarik atau tidak lazim sebuah pertanyaan, makin kuat keinginan kita untuk mendapatkan jawabannya.Sebagai seorang penulis, ketika anda memasukkan pertanyaan-pertanyaan dalam tulisan anda, itu akan mempertemukan anda dengan pembaca anda dan berkali-kali terbukti bisa memancing pembaca ke arah yang anda inginkan. Sederet pertanyaan bisa juga melahirkan topik untuk tulisan mendatang jika anda tak tahu harus menulis apa.

Anda hanya perlu menulis pertanyaan, dan tidak usah terlalu bernafsu untuk membuat pertanyaan-pertanyaan yang unik atau luar biasa. Pertanyaan yang biasa-biasa saja sering menjadi awal bagi sebuah novel atau karangan yang baik.Cobalah membuat cerita berangkat dari pertanyaan ini:· Apakah itu anjingmu? · Di mana kamu kemarin? · Kenapa kau merasa perlu menemuiku? · Apakah itu? · Siapa kamu? · Kapan kita minggat dari tempat ini?Pertanyaan-pertanyaan di atas sangat sederhana, namun kesemuanya memiliki membuka kemungkinan yang tak terbatas.Untuk non-fiksi, membuat kalimat tanya sebagai judul atau mengawali tulisan dengan pertanyaan merupakan teknik umum untuk mengikat perhatian pembaca majalah. Perlu bukti? Periksalah tulisan-tulisan di majalah anda.· Apa yang kau bisikkan, Theo? · Pencalonan Sutiyoso tak lepas dari andilnya membujuk Megawati. Apa saja “dosa-dosanya”? · Agus Dwikarna dari Indonesia divonis 10 tahun penjara. Korban kampanye anti-teror?Benarkah Pertamina bisa rugi puluhan miliar? · Masih ingat lahan gambut sejuta hektare? · Kapankah matahari tenggelam?(Beberapa pertanyaan pembuka berita di majalah Tempo)Dalam bukunya yang berjudul "How to Think Like Leonardo da Vinci", Michael Gelb menulis begini: “buatlah seratus pertanyaan yang penting bagi anda. Anda bisa memasukkan berbagai jenis pertanyaan sepanjang anda anggap itu penting…”Gunakan aturan-aturan praktek menulis, dan kembangkan daftar pertanyaan ini dalam satu setting. Tulis cepat, jangan ragu, jangan menyensor diri sendiri. Bebaskan diri anda untuk menulis apa saja.Selanjutnya, buatlah daftar pertanyaan. Pertanyaan manakah yang memiliki energi ketika anda baca? Tandailah pertanyaan-pertanyaan yang berdekatan. Garis bawahi. Tulislah satu jawaban untuk sejumlah pertanyaan yang berdekatan tadi. Seratus pertanyaan yang baik akan menghasilkan setidaknya 20 topik yang menarik untuk anda gali lebih dalam, lebih lebar, lebih luas.


Mendekatkan Tangan dengan Otak
Ditulis oleh AS Laksana
Minggu, 19 September 2004


Soalnya begini: anda perlu mendekatkan tangan anda dengan otak anda. Ituah kunci kreativitas. Tangan kita adalah alat tubuh yang begitu dekat hubungannya dengan isi kepala kita. Otak kita merancang sesuatu, dan tangan kita yang mengerjakannya. Seorang petani berpikir bagaimana mengolah tanahnya, dan tangannyalah yang mengerjakan semua yang dia pikirkan. Tangan itu menggenggam gagang cangkul dan mengayunkannya. Tanganlah yang menggemburkan tanah dan menyiramkan rabuk agar tanah yang keras menjadi subur. Tanganlah yang mengguyurkan air ke tanaman di dalam pot. Seorang pemburu, dari zaman kapan pun, berangkat dari rumah dengan pikiran untuk memperoleh buruan sebanyak mungkin.

Tangannyalah yang merentangkan busur, melepaskan anak panah, atau menembakkan pelor ke arah sasaran. Jika lapar, anda punya gagasan untuk segera mendapatkan makanan, dan tangan andalah yang menyuapkan nasi ke mulut.Karena itu, beri kesempatan kepada tangan anda untuk melakukan apa yang memang menjadi kesukaannya. Jangan membiarkannya menjadi penganggur. Kasihan ia. Beri ia pena, beri ia kesempatan menekan tuts mesin ketik atau keyboard komputer anda, biarkan ia menjalin kerjasama dengan otak, kawan karibnya. Seorang penulis -saya tak ingat namanya- menyatakan, kira-kira begini:"Tulis apa saja yang ada dalam pikiran anda, dan segala yang berkecamuk di dalam pikiran itu akan menemukan jalan keluar.

" Ketika kita menulis, katanya, "tangan kita melakukan sesuatu."Jika toh anda bukan seorang penulis, atau tidak ingin menjadi penulis, menulislah. Akrabkan tangan anda dengan otak anda. Sebab, apa yang ditulis oleh tangan anda adalah langkah pertama yang akan mewujudkan apa yang ada di kepala anda. Albert Einstein, ilmuwan yang namanya paling dikenal sepanjang abad kedua puluh, tidak pernah kita kenal sebagai seorang penulis. Namun sepanjang hidupnya ia telah menulis tidak kurang dari 2.000 makalah. Dan dengan menulis itu ia menuangkan segala kemungkinan yang kemudian melahirkan teori-teori besarnya.

Orang lain lagi, Muhammad Ali, petinju kelas berat yang paling memukau, juga selalu menulis dan membacakan puisinya untuk. mengejek calon lawan sebelum pertandingan. Biasanya ia meramalkan, dengan cara jenaka, pada ronde keberapa lawannya akan dijatuhkan.Ketika anda menulis, otak anda merekam dengan baik setiap gagasan anda dan dengan demikian anda tak mudah sesat dan tak akan kehilangan ilham. Menekuni disiplin ilmu apa pun, anda perlu menulis agar otak anda makin terasah, agar anda tak kehilangan jejak atas segala yang telah anda pelajari.



Menulis dan Berpikir Secara Lebih Baik
Ditulis oleh AS Laksana
Minggu, 19 September 2004


Apakah anda ingin bisa berpikir lebih cepat, lebih logis, atau lebih kreatif? Bagaimana caranya agar daya pikir lebih kuat dan bisa lebih fokus? Apakah anda ingin menghilangkan keruwetan berpikir? Apakah anda ingin bisa lebih tahan berpikir dan berkonstrasi lebih lama? Baca cerita di bawah ini. Anggaplah diri anda seorang astronot dan secara tak terduga pesawat ruang angkasa anda keluar dari orbitnya. Anda mengarungi kegelapan ruang angkasa dan akhirnya mendarat di sebuah planet bernama BLOK. Sementara stasiun di bumi mengirimkan sekoci ruang angkasa untuk menyelamatkan anda, anda mengisi waktu dengan melihat-lihat sekeliling anda. Apa yang anda jumpai sungguh mencengangkan.

Makhluk-makhluk di planet BLOK, yang menyebut diri mereka Chip, semuanya merupakan pemikir yang buruk. Segala sesuatu yang mereka lakukan selalu berantakan. Segala yang mereka bangun selalu rubuh kembali. Hanyalah keajaiban yang membuat mereka tetap bertahan. Mereka tidak mampu memahami apa pun.Anda tidak tahu apakah stasiun di bumi akan bisa menemukan anda atau tidak, namun -di luar urusan dengan stasiun itu- anda tergerak untuk membuat daftar kekeliruan yang dilakukan oleh para Chip dalam proses berpikir. Siapa tahu daftar anda ini kelak akan berguna bagi penduduk bumi agar planet yang kita huni ini selamat dari kebobrokan sebagaimana yang terjadi di planet B LOK.Mungkin inilah isi catatan anda:Mengapa Kaum Chip Mengalami Kemunduran· Kaum Chip selalu tergesa-gesa. · Mereka tidak pernah merancang tujuan. · Mereka tidak pernah mengajukan pertanyaan. · Mereka abai terhadap fakta-fakta. · Mereka selalu percaya pada apa saja yang mereka baca · Mereka adalah manusia massa, sebuah gerombolan yang selalu ubyang-ubyung. · Mereka terpaku pada reaksi emosional sesaat; mereka selalu bercakap dalam bahasa klise dan berpikir dalam bahasa slogan. · Mereka tidak pernah menarik hubungan antara apa yang telah mereka pelajari dan hal-hal lainnya. · Mereka tidak pernah risau pada cara mereka berpikir. · Mereka tak pernah menulis sama sekali.Apakah sebuah keanehan jika Planet BLOK adalah sarang keruwetan? Jika anda bisa mencapai bumi, jangan pernah melakukan apa yang dilakukan makhluk-makhluk planet BLOK. Dan ingatkan orang-orang di bumi tentang apa yang akan terjadi jika mereka menjadi pemikir yang buruk.

Menjadi Pemikir yang lebih Baik

Ironisnya, pelajaran berpikir yang diajarkan di planet itu sesungguhnya sama dengan pelajaran berpikir yang diajarkan di bumi agar kita menjadi pemikir yang lebih baik, yaitu:Bersabarlah ... jangan mengharapkan penyelesaian yang mudah dan cepat untuk setiap masalah yang kita hadapi. Pemikiran yang baik sering memakan waktu dan memaksa anda untuk membuat perencanaan, membaca, mendengar, bertukar pendapat, dan sebagainya.Tentukan tujuan ... berpikirlah tentang apa yang harus (atau bisa) anda lakukan sekarang (tujuan jangka pendek) dan apa yang harus anda kerjakan dengan sabar, langkah demi langkah, untuk sampai pada tujuan yang anda inginkan (tujuan jangka panjang).

Asahlah rasa ingin tahu anda ... kumpulkan pelbagai macam informasi, pertimbangkan beberapa kemungkinan solusi untuk sebuah persoalan, dan sebagainya.Berpikir logis ... hindari "lonjakan" emosi atau tanggapan yang muncul seketika dari batok kepala anda; cermati persoalan dari segala sisi; ajukan solusi yang sehat dan masuk akal; kemudian landasi pertimbangan anda dengan solid.

Dari berbagai sumber terkait

Tuesday, October 21, 2008

KONSEP DASAR

Cerita pendek

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari

Cerita pendek atau sering disingkat sebagai cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel. Karena singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis.

Cerita pendek berasal dari anekdot, sebuah situasi yang digambarkan singkat yang dengan cepat tiba pada tujuannya, dengan parallel pada tradisi penceritaan lisan. Dengan munculnya novel yang realistis, cerita pendek berkembang sebagai sebuah miniatur, dengan contoh-contoh dalam cerita-cerita karya E.T.A. Hoffmann dan Anton Chekhov.

Asal-usul
Cerita pendek berasal-mula pada tradisi penceritaan lisan yang menghasilkan kisah-kisah terkenal seperti Iliad dan Odyssey karya Homer. Kisah-kisah tersebut disampaikan dalam bentuk puisi yang berirama, dengan irama yang berfungsi sebagai alat untuk menolong orang untuk mengingat ceritanya. Bagian-bagian singkat dari kisah-kisah ini dipusatkan pada naratif-naratif individu yang dapat disampaikan pada satu kesempatan pendek. Keseluruhan kisahnya baru terlihat apabila keseluruhan bagian cerita tersebut telah disampaikan.

Fabel, yang umumnya berupa cerita rakyat dengan pesan-pesan moral di dalamnya, konon dianggap oleh sejarahwan Yunani Herodotus sebagai hasil temuan seorang budak Yunani yang bernama Aesop pada abad ke-6 SM (meskipun ada kisah-kisah lain yang berasal dari bangsa-bangsa lain yang dianggap berasal dari Aesop). Fabel-fabel kuno ini kini dikenal sebagai Fabel Aesop. Akan tetapi ada pula yang memberikan definisi lain terkait istilah Fabel. Fabel, dalam khazanah Sastra Indonesia seringkali, diartikan sebagai cerita tentang binatang. Cerita fabel yang populer misalnya Kisah Si Kancil, dan sebagainya.

Selanjutnya, jenis cerita berkembang meliputi sage, mite, dan legenda. Sage merupakan cerita kepahlawanan. Misalnya Joko Dolog. Mite lebih menyaran pada cerita yang terkait dengan kepercayaan masyarakat setempat tentang sesuatu. Contohnya Nyi Roro Kidul. Sedangkan legenda mengandung pengertian sebuah cerita mengenai asal usul terjadinya suatu tempat. Contoh Banyuwangi.

Bentuk kuno lainnya dari cerita pendek, yakni anekdot, populer pada masa Kekaisaran Romawi. Anekdot berfungsi seperti perumpamaan, sebuah cerita realistis yang singkat, yang mencakup satu pesan atau tujuan. Banyak dari anekdot Romawi yang bertahan belakangan dikumpulkan dalam Gesta Romanorum pada abad ke-13 atau 14. Anekdot tetap populer di Eropa hingga abad ke-18, ketika surat-surat anekdot berisi fiksi karya Sir Roger de Coverley diterbitkan.

Di Eropa, tradisi bercerita lisan mulai berkembang menjadi cerita-cerita tertulis pada awal abad ke-14, terutama sekali dengan terbitnya karya Geoffrey Chaucer Canterbury Tales dan karya Giovanni Boccaccio Decameron. Kedua buku ini disusun dari cerita-cerita pendek yang terpisah (yang merentang dari anekdot lucu ke fiksi sastra yang dikarang dengan baik), yang ditempatkan di dalam cerita naratif yang lebih besar (sebuah cerita kerangka), meskipun perangkat cerita kerangka tidak diadopsi oleh semua penulis. Pada akhir abad ke-16, sebagian dari cerita-cerita pendek yang paling populer di Eropa adalah "novella" kelam yang tragis karya Matteo Bandello (khususnya dalam terjemahan Perancisnya). Pada masa Renaisan, istilah novella digunakan untuk merujuk pada cerita-cerita pendek.

Pada pertengahan abad ke-17 di Perancis terjadi perkembangan novel pendek yang diperhalus, "nouvelle", oleh pengarang-pengarang seperti Madame de Lafayette. Pada 1690-an, dongeng-dongeng tradisional mulai diterbitkan (salah satu dari kumpulan yang paling terkenal adalah karya Charles Perrault). Munculnya terjemahan modern pertama Seribu Satu Malam karya Antoine Galland (dari 1704; terjemahan lainnya muncul pada 1710–12) menimbulkan pengaruh yang hebat terhadap cerita-cerita pendek Eropa karya Voltaire, Diderot dan lain-lainnya pada abad ke-18.

Cerita-cerita pendek modern
Cerita-cerita pendek modern muncul sebagai genrenya sendiri pada awal abad ke-19. Contoh-contoh awal dari kumpulan cerita pendek termasuk Dongeng-dongeng Grimm Bersaudara (1824–1826), Evenings on a Farm Near Dikanka (1831-1832) karya Nikolai Gogol, Tales of the Grotesque and Arabesque (1836), karya Edgar Allan Poe dan Twice Told Tales (1842) karya Nathaniel Hawthorne. Pada akhir abad ke-19, pertumbuhan majalah dan jurnal melahirkan permintaan pasar yang kuat akan fiksi pendek antara 3.000 hingga 15.000 kata panjangnya. Di antara cerita-cerita pendek terkenal yang muncul pada periode ini adalah "Kamar No. 6" karya Anton Chekhov.

Pada paruhan pertama abad ke-20, sejumlah majalah terkemuka, seperti The Atlantic Monthly, Scribner's, dan The Saturday Evening Post, semuanya menerbitkan cerita pendek dalam setiap terbitannya. Permintaan akan cerita-cerita pendek yang bermutu begitu besar, dan bayaran untuk cerita-cerita itu begitu tinggi, sehingga F. Scott Fitzgerald berulang-ulang menulis cerita pendek untuk melunasi berbagai utangnya.

Permintaan akan cerita-cerita pendek oleh majalah mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-20, ketika pada 1952 majalah Life menerbitkan long cerita pendek Ernest Hemingway yang panjang (atau novella) Lelaki Tua dan Laut. Terbitan yang memuat cerita ini laku 5.300.000 eksemplar hanya dalam dua hari.

Sejak itu, jumlah majalah komersial yang menerbitkan cerita-cerita pendek telah berkurang, meskipun beberapa majalah terkenal seperti The New Yorker terus memuatnya. Majalah sastra juga memberikan tempat kepada cerita-cerita pendek. Selain itu, cerita-cerita pendek belakangan ini telah menemukan napas baru lewat penerbitan online. Cerita pendek dapat ditemukan dalam majalah online, dalam kumpulan-kumpulan yang diorganisir menurut pengarangnya ataupun temanya, dan dalam blog.

Unsur dan ciri khas
Cerita pendek cenderung kurang kompleks dibandingkan dengan novel. Cerita pendek biasanya memusatkan perhatian pada satu kejadian, mempunyai satu plot, setting yang tunggal, jumlah tokoh yang terbatas, mencakup jangka waktu yang singkat.

Dalam bentuk-bentuk fiksi yang lebih panjang, ceritanya cenderung memuat unsur-unsur inti tertentu dari struktur dramatis: eksposisi (pengantar setting, situasi dan tokoh utamanya), komplikasi (peristiwa di dalam cerita yang memperkenalkan konflik dan tokoh utama); komplikasi (peristiwa di dalam cerita yang memperkenalkan konflik); aksi yang meningkat, krisis (saat yang menentukan bagi si tokoh utama dan komitmen mereka terhadap suatu langkah); klimaks (titik minat tertinggi dalam pengertian konflik dan titik cerita yang mengandung aksi terbanyak atau terpenting); penyelesaian (bagian cerita di mana konflik dipecahkan); dan moralnya.

Karena pendek, cerita-cerita pendek dapat memuat pola ini atau mungkin pula tidak. Sebagai contoh, cerita-cerita pendek modern hanya sesekali mengandung eksposisi. Yang lebih umum adalah awal yang mendadak, dengan cerita yang dimulai di tengah aksi. Seperti dalam cerita-cerita yang lebih panjang, plot dari cerita pendek juga mengandung klimaks, atau titik balik. Namun demikian, akhir dari banyak cerita pendek biasanya mendadak dan terbuka dan dapat mengandung (atau dapat pula tidak) pesan moral atau pelajaran praktis.

Seperti banyak bentuk seni manapun, ciri khas dari sebuath cerita pendek berbeda-beda menurut pengarangnya.

Ukuran
Menetapkan apa yang memisahkan cerita pendek dari format fiksi lainnya yang lebih panjang adalah sesuatu yang problematic. Sebuah definisi klasik dari cerita pendek ialah bahwa ia harus dapat dibaca dalam waktu sekali duduk (hal ini terutama sekali diajukan dalam esai Edgar Allan Poe "The Philosophy of Composition" pada 1846). Definisi-definisi lainnya menyebutkan baas panjang fiksi dari jumlah kata-katanya, yaitu 7.500 kata. Dalam penggunaan kontemporer, istilah cerita pendek umumnya merujuk kepada karya fiksi yang panjangnya tidak lebih dari 20.000 kata dan tidak kurang dari 1.000 kata.

Cerita yang pendeknya kurang dari 1.000 kata tergolong pada genre fiksi kilat (flash fiction). Fiksi yang melampuai batas maksimum parameter cerita pendek digolongkan ke dalam novelette, novella, atau novel.

Genre
Cerita pendek pada umumnya adalah suatu bentuk karangan fiksi, dan yang paling banyak diterbitkan adalah fiksi seperti fiksi ilmiah, fiksi horor, fiksi detektif, dll. Cerita pendek kini juga mencakup bentuk nonfiksi seperti catatan perjalanan, prosa liris dan varian-varian pasca modern serta non-fiksi seperti fikto-kritis atau jurnalisme baru.

Cerita pendek terkenal
"An Occurrence at Owl Creek Bridge" oleh Ambrose Bierce (teks online)
"Yours Truly, Jack the Ripper" oleh Robert Bloch
"A Sound of Thunder" oleh Ray Bradbury
"Cathedral" oleh Raymond Carver
"The Most Dangerous Game" oleh Richard Connell
"The Story of an Hour" oleh Kate Chopin (teks online)
"A Rose for Emily" oleh William Faulkner (teks online)
"The Overcoat" oleh Nikolai Gogol (teks online — terjemahan dari bahasa Rusia)
"Young Goodman Brown" oleh Nathaniel Hawthorne (teks online)
"The Snows of Kilimanjaro" oleh Ernest Hemingway (teks online)
"The Gift of the Magi" oleh O. Henry (teks online)
"The Lottery" oleh Shirley Jackson (teks online)
"The Monkey's Paw" oleh W.W. Jacobs
"The Dead" oleh James Joyce (teks online
"In der Strafkolonie" oleh Franz Kafka (teks online terj. Inggris dari bahasa Jerman)
"The Call of Cthulhu" oleh H.P. Lovecraft
"Bartleby, the Scrivener" oleh Herman Melville (teks online)
"A Good Man Is Hard to Find" oleh Flannery O'Connor (teks online)
"The Tell-Tale Heart" oleh Edgar Allan Poe (teks online)
"Brokeback Mountain" oleh Annie Proulx
"The Red Room" oleh H.G. Wells
"The Last Question" oleh Isaac Asimov

Lihat pula
Daftar pengarang cerita pendek dunia
Daftar pengarang cerita pendek Indonesia
Sastra
Karya fiksi
Daftar cerita pendek yang muncul di The New Yorker
Sumber-sumber lain
Situs Komunitas Penulis Amatir Indonesia, Situs komunitas penulis amatir terbesar di Indonesia, cerita pendek, puisi, prosa
Free Stories Center, situs untuk cerita pendek dan upaya menerbitkannya
Million Writers Award, untuk cerita pendek terbaik online tahun ini
Kronologi cerita pendek Amerika
Perpustakaan besar online untuk cerita pendek kontemporer dan klasik
Perpustakaan online untuk cerita pendek kontemporer dan klasik- Situs Jerman
Cerita pendek eTexts dan Lebih banyak Cerita pendek eTexts di Project Gutenberg
Cerita Hasidik Yahudi
Cerita pendek: 10 petunjuk untuk penulis kreatif baru
InÉdit: untuk penulis muda dengan kumpulan puisi dan cerita pendek online oleh orang muda
Short Story Radio, stasiun radio internet khusus untuk siaran professional dari cerpen-cerpen yang tak pernah diterbitkan sebelumnya

MENGAPA MENULIS CERITA PENDEK?

Senin, 29 September 2008 06:55:02 - oleh : prys

DARI MANAKAH SEBUAH KARYA sastra berasal? Apakah dari perasan imajinasi, kepekaan intusi, hasil observasi, atau cukup dari pengalaman penulisnya sendiri? Apa justru ia lahir tiba-tiba, ditulis tanpa aba-aba, tanpa syarat apa-apa layaknya sungai yang begitu saja mengalir?

Pertanyaan ini pernah saya ajukan ke beberapa rekan yang aktif menulis (khususnya puisi dan cerpen), dan masing-masing jawabannya berbeda satu sama lain. Disini saya tidak akan menuliskan satu persatu jawabannya, tapi saya akan coba merunutkannya dalam suatu kesimpulan sederhana berikut.

Mereka umumnya menggunakan pengalaman sendiri (bisa juga dialami orang lain atau curhat teman) menjadi tema cerita, saat apa yang mereka alami itu memiliki nilai/ kesan yang khas dalam hidupnya. Dari sini muncul hasrat (motif komunikasi) dalam diri mereka untuk menceritakan kembali pengalaman tersebut kepada orang lain.

Observasi (pengamatan) boleh jadi merupakan cara termudah menemukan bahan untuk diangkat ke dalam sebuah cerita. Lihatlah sekeliling dimana saja kita berada, betapa begitu banyak kehidupan dengan beragam latar belakang, profesi, berikut masing-masing problema yang dihadapi. Di rumah, di kampus, di jalanan, di pasar, di sudut-sudut gang, dan di semua tempat pasti punya kisahnya sendiri-sendiri.

Tentang intuisi, W.J.S Poerwadarminta mendefinisikannya sebagai gerak hati; daya batin untuk mengerti atau mengetahui sesuatu tidak dengan berpikir (tetapi dengan merasa). Intuisi adalah perasaan yang dibawa setiap manusia sejak lahir. Maka, semakin peka perasaan tersebut, semakin mudah pula kita terinspirasi oleh banyak hal.

Manusia juga dianugerahi daya khayal/ kemampuan berimajinasi. Hasilnya berupa fantasi dan gambaran (dalam angan-angan) tak langsung dari keadaan/ kejadian sebenarnya. Disini penulis berperan penting mengolah imajinasinya menjadi jalinan cerita yang akan ditulisnya.

5 Tahap Proses Kreatif
Tak berhenti sampai disitu, saya lalu mengajukan pertanyaan berikutnya ke rekan-rekan penulis tadi: “Bagaimana cara menulis cerita pendek? Bagaimana kita harus memulainya?”

“Wah.. Menulis ya menulis. Kalo ditanya gimana caranya, gue juga bingung mau jawab apa,” ujar seorang dari mereka.

“Kalo gue sih gak ada patokan dasar, tapi pasti masing-masing penulis akan menemukan caranya sendiri-sendiri, kok,” kata seorang lainnya.

Memang betul, masing-masing penulis punya caranya sendiri-sendiri. Sebab, menulis ya menulis. Tapi jawaban tersebut belumlah jawaban yang memuaskan. Hingga akhirnya saya coba merunutkan kembali kemungkinan jawaban yang mungkin ada.

Menulis merupakan suatu proses melahirkan tulisan yang berisi gagasan. Ada yang melakukannya secara spontan, ada juga yang perlu menyusun kerangka tulisannya terlebih dulu. Kebiasaan dan potensi setiap orang memang tidak sama. Tapi pada umumnya, ada 5 tahap proses kreatif yang dihadapi penulis.

Tahap pertama, adalah persiapan. Munculnya gagasan/ ide tentang isi tulisan adalah pemicu awal dalam proses kreatif menulis. Dalam tahap ini seorang penulis telah menyadari apa yang akan dia tulis. Tinggal bagaimana menuangkan gagasan tersebut apakah dalam bentuk tulisan artikel, essai, cerpen, atau dalam bentuk lainnya.

Kedua, tahap inkubasi/ masa pengendapan. Gagasan yang muncul tadi, kini disimpan matang-matang. Hingga muncul anak-anak gagasan baru; ada yang bagus ada yang tidak, ada yang memperkaya dan yang menambah kedalaman gagasan semula. Penulis harus membiarkan ide/ gagasan itu terbentuk di bawah sadarnya, sampai tiba saatnya ‘hamil besar’ dan gagasan itu siap dilahirkan lewat tulisan.

Ketiga, saat inspirasi. Inilah saat yang disebut ‘Eureka’, yakni saat tiba=tiba seluruh gagasan tersebut menemukan bentuk idealnya. Ada desakan kuat untuk segera menulis dan tak bisa ditunggu-tunggu lagi. Inilah saat bagi gagasan di bawah sadar sudah mendepak-depakkan kakinya ingin dilahirkan.

Keempat, tahap penulisan. Pada tahap ini segala hasil inkubasi dan inspirasi tumpah dalam bentuk kata tertulis. Semuanya berjejalan ingin segera dituliskan. Jangan pikirkan mengontrol diri dulu. Jangan menilai mutu tulisan dahulu. Rasio belum boleh bekerja. Yang penting dituangkan saja semua. Sebab, hasilnya masih suatu karya kasar (draft).

Tahap terakhir, tahap revisi. Draft tersebut kemudian kembali dibaca, lalu diperiksa dan dinilai sendiri berdasarkan pengetahuan dan apresiasi yang dimiliki. Disinilah disiplin diri sebagai penulis diuji. Ia harus mau mengulangi menuliskannya kembali, hingga didapat bentuk tulisan terakhir yang dirasa telah mantap mendekati bentuk idealnya.

Kelima tahap inilah yang kemudian meyakini saya bahwa cara terbaik untuk menulis karya cerpen adalah dengan mulai menuliskannya. Jangan sekedar mulai mencoba, tapi lakukan juga secara nyata. Dan saya tidak sedang menggampangkan sesuatu hal disini, tapi saya ingin ketika suatu saat kita ditanyai ‘mengapa menulis cerpen?’, maka jawaban yang keluar dari mulut adalah MENGAPA TIDAK?!!

Pry S., 26 tahun, jurnalis, kini tinggal dan bekerja di Bogor
http://prys3107.blogspot.com

AGAR TULISAN SOULMATE

RESEP TULISAN BERJIWA.

Oleh Agung - Koran Jakarta

”Menulis itu sebagaimana kita belajar berenang. Jika tidak berani turun ke air, sampai kapan pun tidak mungkin bisa berenang. Begitu juga jika pingin jadi penulis, ya harus menulis,” pertuah dari sastarawan Helvy Tiana Rosa.

Salah satu pencetus Forum Lingkar Pena (FLP) tersebut memberikan resep, untuk dapat menulis itu harus rajin membaca agar memiliki wawasan yang luas. Membaca bukan hanya buku yang disenangi saja, namun membaca buku apa saja. Syarat tersebut belum termasuk baca koran, majalah, tabloid serta lingkungan yang ada disekitar kita.

Novelis Heri Hendrayana Harris (Gola Gong) menambahkan, membaca merupakan sarana utama menuju ketrampilan menulis. Ibarat sebuah mobil, jika tidak ada bensinnya, tentu mogok. Begitu juga dengan penulis, jika tidak suka membaca, berarti jiwanya akan kosong. Banyak sedikitnya sumber bacaan itu akan tercermin dari karya tulis. Syarat lain menjadi penulis, lanjut Gola Gong, adalah menguasai 4 ketrampilan berbahasa untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain.
Empat Ketrampilan berbahasa yaitu mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Penguasaan dengan cara seperti ini, kelak selain mahir menulis, mereka juga mahir berbicara di depan orang banyak. “Point terpenting lainya adalah latihan menulis, menulis dan menulis,” tandas penulis yang namanya melambung lewat novelnya Balada Si Roy.

BUKU HARIAN
Helvi mengamini kiat Gola Gong, latihan itu bisa dilakukan dengan menuliskan semua pengetahuan dan pengalaman baru setiap hari dalam buku harian. Boleh juga menulisnya dalam blog dan website pribadi. Untuk mengasah ketrampilan menulis itu juga dapat dilakukan dengan mencari sahabat pena untuk memberikan saran maupun kritik. “Dengan cara korespondensi tersebut kita akan semakin terpacu untuk meningkatkan kualitas tulisan kita,” jelas perempuan yang menghasilkan tak kurang dari 600 cerpen, lebih dari 40 buku berupa kumpulan cerpen, novel, cerita anak, drama, kritik sastra, kumpulan esai, kumpulan puisi, dan sejumlah antologi bersama.

Penulis novel Laskar Pelangi, Adrea Hirata juga menawarkan kiat menjadi penulis yang professional. Jika ingin menghasilkan karya yang berkualitas hendaknya sering mengadakan penelitian tentang apa yang akan ditulis. Seorang penulis itu tidak hanya duduk di depan komputer atau laptop, ia harus terjun secara langsung ke lapangan untuk mengamati fenomena yang hendak di tulis.

Andrea memberikan contoh, ketika ingin menulis tentang kemacetan yang ada di Jakarta. Tentu seorang penulis harus paham bentul daerah-daerah yang menjadi titik macet di Jakarta. Dari kemacetan tersebut dampak yang ditimbulkan. Misalnya, polusi udara. Untuk itu, penulis juga harus paham dengan apa yang dimaksud dengan polusi tersebut. Bahkan alat ukur polusi itu harus diketahui bagaimana cara kerjanya. Oleh karena itu, penulis juga harus rajing-rajin ke perpustakaan atau toko buku untuk melakukan studi literature.

“Jadi belajar untuk menjadi penulis itu membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk mengisi pengetahuan dan pengalaman yang tersimpan dalam memori otak. Oleh karena itu, saya tidak sepakat dengan pelatihan-pelatihan menulis yang hanya mengobral janji untuk menulis cepat. Sebab, hasil dari tulisan instant tersebut tentu tidak akan ada jiwanya,” cetus Andrea.(agung – Koran Jakarta)

Pengertian Cerpen

Sebenarnya, tidak ada rumusan yang baku mengenai apa itu cerpen. Kalangan sasterawan memiliki rumusan yang tidak sama. H.B. Jassin –Sang Paus Sastra Indonesia- mengatakan bahwa yang disebut cerita pendek harus memiliki bagian perkenalan, pertikaian, dan penyelesaian.

A. Bakar Hamid dalam tulisan “Pengertian Cerpen” berpendapat bahwa yang disebut cerita pendek itu harus dilihat dari kuantitas, yaitu banyaknya perkataan yang dipakai: antara 500-20.000 kata, adanya satu plot, adanya satu watak, dan adanya satu kesan. Sedangkan Aoh. KH, mendefinisikan bahwa cerpen adalah salah satu ragam fiksi atau cerita rekaan yang sering disebut kisahan prosa pendek. Dan masih banyak sastrawan yang merumuskan definisi cerpen. Rumusan-rumusan tersebut tidak sama persis, juga tidak saling bertentangan satu sama lain.

Hampir semuanya menyepakati pada satu kesimpulan bahwa cerita pendek atau yang biasa disingkat cerpen adalah cerita rekaan yang pendek.Dari beberapa buku dan uraian yang layak dijadikan pedoman, tampaknya pendapat pakar cerita pendek dunia, Edgar Allan Poe, sangat cocok menjadi panduan- karena secara teoritis ia memenuhi kriteria ilmiah, tetapi secara praktis ia dapat diaplikasikan. Pendapat yang dirinci Muhammad Diponegoro dalam bukunya Yuk, Nulis Cerpen Yuk disederhanakan sebagai berikut:Pertama, cerita pendek harus pendek.

Seberapa pendeknya? Sebatas rampung baca sekali duduk menunggu bus atau kereta api, atau sambil antre karcis bioskop. Disamping itu ia juga harus memberi kesan secara terus-menerus hingga kalimat terakhir, berarti cerita pendek harus ketat, tidak mengobral detail, dialog hanya diperlukan untuk menampakkan watak, atau menjalankan cerita atau menampilkan problem.Kedua, cerita pendek mengalir dalam arus untuk menciptakan efek tunggal dan unik.
Menurut Poe ketunggalan pikiran dan aksi bisa dikembangkan lewat satu garis dari awal sampai akhir.

Di dalam cerita pendek tak dimungkinkan terjadi aneka peristiwa digresi.Ketiga, cerita pendek harus ketat dan padat. Setiap detil harus mengarus pada pada satu efek saja yang berakhir pada kesan tunggal. Oleh sebab itu ekonomisasi kata dan kalimat – sebagai salah satu ketrampilan yang dituntut bagi seorang cerpenis.Keempat, cerita pendek harus mampu meyakinkan pembacanya bahwa ceritanya benar-benar terjadi, bukan suatu bikinan, rekaan.

Itulah sebabnya dibutuhkan suatu ketrampilan khusus, adanya konsistensi dari sikap dan gerak tokoh, bahwa mereka benar-benar hidup, sebagaimana manusia yang hidup.Kelima, cerita pendek harus menimbulkan kesan yang selesai, tidak lagi mengusik dan menggoda, karena ceritanya seperti masih berlanjut. Kesan selesai itu benar-benar meyakinkan pembaca, bahwa cerita itu telah tamat, sampai titik akhirnya, tidak ada jalan lain lagi, cerita benar-benar rampung berhenti di situ.

Rumusan Poe inilah –saya sepakat dengan Korrie Layun Rampan- sesungguhnya yang cukup bisa mewakili pengertian cerita pendek secara umum.

II. Karakteristik Cerpen

Gambaran umum karakteristik cerpen bisa ditangkap dalam rumusan Edgar Alan Poe, di atas. Untuk mempertegas perbedaan cerpen dengan novel, Ismail Marahimin, dalam Menulis Secara Populer menjelaskan bahwa cerpen memang harus pendek dan singkat. Sedangkan cerita rekaan yang panjang adalah novel. Apa ukuran panjang-pendek suatu cerpen itu? Jumlah halamannyakah? Jumlah kata-katanyakah?

Menjawab hal ini, rumusan Poe cukup menjelaskan. Meskipun ada yang berpendapat jumlah katanya tidak lebih dari 10.000 kata (The Liang Gie). Ada yang membatasi jumlah katanya antara 500 – 30.000 kata (Helvy Tiana Rosa).Yang jelas, karakteristik utama cerpen adalah pendek dan singkat. Di dalam cerita yang singkat itu, tentu saja tokoh-tokoh yang memegang peranan tidak banyak jumlahnya, bisa jadi hanya seorang, atau bisa juga sampai sekitar empat orang paling banyak. Itu pun tidak seluruh kepribadian tokoh, atau tokoh-tokoh itu diungkapkan di dalam cerita.

Fokus atau, pusat perhatian, di dalam cerita itu pun hanya satu. Konfliknya pun hanya satu, dan ketika cerita itu dimulai, konflik itu sudah hadir di situ. Tinggal bagaimana menyelesaikan saja.Karena pendeknya, kita biasanya tidaklah menemukan adanya perkembangan di dalam cerita. Tidak ada cabang-cabang cerita.

Tidak ada kelebatan-kelebatan pemikiran tokoh-tokohnya yang melebar ke pelbagai hal dan masalah. Peristiwanya singkat saja. Kepribadian tokoh, atau tokoh-tokoh, pun tidak berkembang, dan kita tidak menyaksikan adanya perubahan nasib tokoh, atau tokoh-tokoh ini ketika cerita berakhir. Dan ketika konfik yang satu itu terselesaikan, kita tidak pula tahu bagaimana kelanjutan kehidupan tokoh, atau tokoh-tokoh, cerita itu.Dan karena jumlah tokoh terbatas, peristiwanya singkat, waktu berlangsungnya tidak begitu lama, kata-kata yang dipakai harus hemat, tepat dan padat, maka –diatara karakteristik cerpen- tempat kejadiannya pun juga terbatas, berkisar 1-3 tempat saja.

Perlu ditegaskan bahwa cerpen bukan penggalan sebuah novel. BUKAN PULA sebuah novel yang dipersingkat. Cerpen itu adalah sebuah cerita rekaan yang lengkap: tidak ada, tidak perlu, dan harus tidak ada tambahan lain. Cerpen adalah sebuah genre atau jenis, yang berbeda dengan novel.Namun demikian, sebuah cerpen meskipun singkat tetap harus mempunyai tikaian dramatik, atau dalam bahasa The Liang Gie konflik dramatik, yaitu perbenturan kekuatan yang berlawanan. Baik benturan itu terlihat nyata ataupun tersamarkan. Sebab inilah inti suatu cerpen.

III. Unsur-Unsur Dalam Sebuah Cerpen

1. Tema

Yaitu gagasan inti. Dalam sebuah cerpen, tema bisa disamakan dengan pondasi sebuah bangunan. Tidaklah mungkin mendirikan sebuah bangunan tanpa pondasi. Dengan kata lain tema adalah sebuah ide pokok, pikiran utama sebuah cerpen; pesan atau amanat. Dasar tolak untuk membentuk rangkaian cerita; dasar tolak untuk bercerita.Tidak mungkin sebuah cerita tidak mempunyai ide pokok. Yaitu sesuatu yang hendak disampaikan pengarang kepada para pembacanya. Sesuatu itu biasanya adalah masalah kehidupan, komentar pengarang mengenai kehidupan atau pandangan hidup si pengarang dalam menempuh kehidupan luas ini.

Pengarang tidak dituntut menjelaskan temanya secara gamblang dan final, tetapi ia bisa saja hanya menyampaikan sebuah masalah kehidupan dan akhirnya terserah pembaca untuk menyikapi dan menyelesaikannya.Secara tradisional, tema itu bisa dijelaskan dengan kalimat sederhana, seperti:
  1. Kejahatan pada akhirnya akan dikalahkan oleh kebaikan.
  2. Persahabatan sejati adalah setia dalam suka dan duka.
  3. Cinta adalah energi kehidupan, karena itu cinta dapat mengatasi segala kesulitan. Dan lain sebagainya.

Cerpen yang baik dan besar biasanya menyajikan berbagai persoalan yang kompleks. Namun, selalu punya pusat tema, yaitu pokok masalah yang mendominasi masalah lainnya dalam cerita itu. Misalnya cerpen “Salju Kapas Putih” karya Satyagraha Hoerip. Cerpen ini melukiskan pengalaman “aku” di negeri asing dengan baik sekali, tetapi secara tajam cerpen ini menyorot masalah moral. Tokoh “aku” dapat bertahan dari godaan berbuat serong karena pertimbangan moral.

2. Alur atau Plot

Yaitu rangkaian peristiwa yang menggerakkan cerita untuk mencapai efek tertentu. Banyak anggapan keliru mengenai plot. Sementara orang menganggap plot adalah jalan cerita. Dalam pengertian umum, plot adalah suatu permufakatan atau rancangan rahasia guna mencapai tujuan tertentu.


Rancangan tentang tujuan itu bukanlah plot, akan tetapi semua aktivitas untuk mencapai yang diinginkan itulah plot.Atau, secara lebih gamblang plot adalah –menurut Aswendo Atmowiloto- sebab-akibat yang membuat cerita berjalan dengan irama atau gaya dalam menghadirkan ide dasar.

Semua peristiwa yang terjadi di dalam cerita pendek harus berdasarkan hukum sebab-akibat, sehingga plot jelas tidak mengacu pada jalan cerita, tetapi menghubungkan semua peristiwa. Sehingga Jakob Sumardjo dalam Seluk-beluk Cerita Pendek menjelaskan tentang plot dengan mengatakan, “Contoh populer menerangkan arti plot adalah begini: Raja mati. Itu disebut jalan cerita. Tetapi raja mati karena sakit hati, adalah plot.”Dalam cerpen biasanya digunakan plot ketat artinya bila salah satu kejadian ditiadakan jalan cerita menjadi terganggu dan bisa jadi, tak bisa dipahami.

Adapun jenis plot bisa disederhanakan menjadi tiga jenis, yaitu:

  1. Plot keras, jika akhir cerita meledak keras di luar dugaan pembaca. Contohnya: cerpen-cerpen Anton Chekov, pengarang Rusia legendaris, cerpen-cerpen Trisnoyuwono yang terkumpul dalam Laki-laki dan Mesiu, cerpen-cerpen Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulannya Kejantanan di Sumbing.
  2. Plot lembut, jika akhir cerita berupa bisikan, tidak mengejutkan pembaca, namun tetap disampaikan dengan mengesan sehingga seperti terus tergiang di telinga pembaca. Contoh, cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam, cerpen-cerpen Danarto dalam Godlob, dan hampir semua cerpen Guy de Maupassant, pengarang Perancis menggunakan plot berbisik.
  3. Plot lembut-meledak, atau plot meledak-lembut adalah campuran plot keras dan lembut. Contoh: cerpen Krawang-Bekasi milik Gerson Poyk, cerpen Bulan Mati karya R. Siyaranamual, dan cerpen Putu Wijaya berjudul Topeng bisa dimasukkan di sini.

Adapun jika kita melihat sifatnya, maka ada cerpen dengan plot terbuka, plot tertutup dan cempuran keduanya. Jadi sifat plot ada kalanya:


  1. Terbuka. Jika akhir cerita merangsang pembaca untuk mengembangkan jalan cerita, di samping masalah dasar persoalan.
  2. Tertutup. Akhir cerita tidak merangsang pembaca untuk meneruskan jalan cerita. Contoh Godlobnya Danarto.3. Campuran keduanya.
  3. PenokohanYaitu penciptaan citra tokoh dalam cerita. Tokoh harus tampak hidup dan nyata hingga pembaca merasakan kehadirannya. Dalam cerpen modern, berhasil tidaknya sebuah cerpen ditentukan oleh berhasil tidaknya menciptakan citra, watak dan karakter tokoh tersebut.

Penokohan, yang didalamnya ada perwatakkan sangat penting bagi sebuah cerita, bisa dikatakan ia sebagai mata air kekuatan sebuah cerita pendek.Pada dasarnya sifat tokoh ada dua macam; sifat lahir (rupa, bentuk) dan sifat batin (watak, karakter). Dan sifat tokoh ini bisa diungkapkan dengan berbagai cara, diantaranya melalui:

  • Tindakan, ucapan dan pikirannya
  • Tempat tokoh tersebut berada
  • Benda-benda di sekitar tokoh
  • Kesan tokoh lain terhadap dirinya
  • Deskripsi langsung secara naratif oleh pengarang

4. Latar atau Setting

yaitu segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana dalam suatu cerita.


Pada dasarnya, latar mutlak dibutuhkan untuk menggarap tema dan plot cerita, karena latar harus bersatu dengan teman dan plot untuk menghasilkan cerita pendek yang gempal, padat, dan berkualitas. Kalau latar bisa dipindahkan ke mana saja, berarti latar tidak integral dengan tema dan plot. Cerpen saya, Bayi-bayi Tertawa yang mengambil setting khas Palestina, dengan watak, budaya, emosi, kondisi geografi yang sangat khas Palestina tentu akan menjadi lucu jika settingnya dipindah di Ponorogo. Jelas bahwa setting akan sangat menentukan watak dan karakter tokoh.

5. Sudut Pandangan Tokoh

Di antara elemen yang tidak bisa ditinggalkan dalam membangun cerita pendek adlaah sudah pandangan tokoh yang dibangun sang pengarang. Sudut pandangan tokoh ini merupakan visi pengarang yang dijelmakan ke dalam pandangan tokoh-tokoh bercerita.

Jadi sudut pangan ini sangat erat dengan teknik bercerita.Sudut pandangan ini ada beberapa jenis, tetapi yang umum adalah:

  1. Sudut pandangan orang pertama. Lazim disebut point of view orang pertama. Pengarang menggunakan sudut pandang “aku” atau “saya”. Di sini yang harus diperhatikan adalah pengarang harus netral dengan “aku” dan “saya”nya.
  2. Sudut pandang orang ketiga, biasanya pengarang menggunakan tokoh “ia”, atau “dia”. Atau bisa juga dengan menyebut nama tokohnya; “Aisha”, “Fahri”, dan “Nurul” misalnya.
  3. Sudut pandang campuran, di mana pengarang membaurkan antara pendapat pengarang dan tokoh-tokohnya. Seluruh kejadian dan aktivitas tokoh diberi komentar dan tafsiran, sehingga pembaca mendapat gambaran mengenai tokoh dan kejadian yang diceritakan.

Dalam “Sekelumit Nyanyian Sunda” Nasjah Djamin sangat baik menggunakan teknik ini.

4. Sudut pandangan yang berkuasa

Merupakan teknik yang menggunakan kekuasaan si pengarang untuk menceritakan sesuatu sebagai pencipta. Sudut pandangan yang berkuasa ini membuat cerita sangat informatif. Sudut pandanga ini lebih cocok untuk cerita-cerita bertendens. Para pujangga Balai Pustaka banyak yang menggunakan teknik ini. Jika tidak hati-hati dan piawai sudut pandangan berkuasa akan menjadikan cerpen terasa menggurui.IV. Anatomi Cerita PendekSetelah mengerti betul definisi cerpen, karakteristik cerpen dan unsur-unsur yang wajib ada dalam membangun cerpen, maka sejatinya Anda sudah sangat siap untuk menciptakan sebuah cerpen. Sebelum menulis cerpen ada baiknya anda mengetahui anatomi cerpen atau bisa juga disebut struktur cerita.

Umumnya anatomi cerpen, apapun temanya, di manapun settingnya, apapun jenis sudut pandangan tokohnya, dan bagaimanapun alurnya memiliki anatomi sebagai berikut:


  1. Situasi (pengarang membuka cerita)
  2. Peristiwa-peristiwa terjadi
  3. Peristiwa-peristiwa memuncak
  4. Klimaks
  5. Anti Klimaks

Atau, komposisi cerpen, sebagaimana ditandaskan H.B.Jassin dapat dikatakan sebagai berikut:

  1. Perkenalan
  2. Pertikaian
  3. Penyelesaian

Cerpen yang baik adalah yang memiliki anatomi dan struktur cerita yang seimbang. Kelemahan utama penulis cerpen pemula biasanya di struktur cerita ini. Helvy Tiana Rosa selama menjadi pimred Annida dan melihat kelemahan mereka itu dan berkomentar,“Cerpenis-cerpenis pemula biasanya kurang memperhatikan proporsionalitas struktur cerita.


Banyak di antara mereka yang berpanjang-panjang ria dalam menulis pembukaan cerpennya. Mereka menceritakan semua, seolah takut para pembaca tak mengerti apa yang akan atau sedang mereka ceritakan. Akibatnya sering satu sampai dua halaman pertama karya mereka masih belum jelas akan menceritakan tentang apa. Hanya pengenalan dan pemaparan yang bertele-tele dan membosankan. Konflik yang seharusnya dibahas dengan lebih jelas, luas dan lengkap, sering malah disinggung sambil lalu saja. Pengakhiran konflik pun dibuat sekedarnya. Tahu-tahu sudah penyelesaian. Padahal inti dari cerpen adalah konflik itu sendiri. Jadi jangan sampai pembukaan cerpen menyamai apalagi sampai menelan konflik tersebut.”

V. Agar Sebuah Cerpen Memiliki Daya Pikat

Agar cerpen ada memikat pembaca, trik-trik berikut ini bisa dipertimbangkan baik-baik:


  1. Carilah ide cerita yang menarik dan tidak klise. Mengulang ide cerita semisal “Bawang Merah dan Bawang Putih” adalah pilihan yang kurang tepat, karena akan tampak sangat klise dan menjadi tidak menarik pembaca.
  2. Buatlah lead, paragraf awal dan kalimat penutup cerita yang semenarik mungkin. Alinea awal dan alinea akhir sangat mementukan keberhasilan sebuah cerpen. Alinea awal berfungsi menggiring pembaca untuk menelusuri dan masuk dalam cerita yang dibacanya. Sedangkan kalimat akhir adalah kunci kesan yang disampaikan pengarang. Kunci kesan ini sangat penting, karena cerpen yang memberikan kesan yang mendalam di hati pembacanya, akan selalu dikenang.
  3. Buat judul cerita yang bagus dan menarik. Sebagaimana buku, cerita yang bagus tidak semuanya dibaca orang. Salah satu penyebabnya adalah kalimat pembuka yang buruk dan judul yang mati, tidak menggugah rasa ingin tahu pembacanya. M. Fauzil Adhim dalam bukunya Dunia Kata menjelaskan beberapa hal yang seyogyanya diperhatikan dalam menulis judul:Pertama, judul sebaiknya singkat dan mudah diingat.Kedua, judul harus mudah diucapkan. Dan yang ketiga, kuat maknanya.
  4. Perhatikan teknik penceritaan. Teknik yang digunakan pengarang menyangkut penokohan, penyusunan konflik. pembangunan tegangan dan penyajian cerita secara utuh. Jangan sampai pembaca sudah jenuh di awal cerita. Untuk menghindari kejenuhan pembaca di awal cerita bisa kita gunakan teknik:-in medias res (memulai cerita dari tengah)-flash back (sorot balik, penyelaan kronologis)Anton Chekov menyarankan : “Lipat dualah halaman pertama cerpenmu, lalu robek dua dan buang sobekan yang sebelah atas.”
  5. Buatlah suspense, kejutan-kejutan yang muncul tiba-tiba (bedakan dengan faktor kebetulan), jangan terjebak pada cerita yang bertele-tele dan mudah ditebak.
  6. Cerpen harus mengandung kebenaran, keterharuan dan keindahan. Elizabeth Jolley, mengatakan, “Saya berhati-hati agar tidak membuat kesalahan. Sungai saya tidak pernah mengalir ke hulu.”Gabriel Garcia Marquez, sastrawan besar dari Kolumbia yang meraih novel itu berkata, “Pujian terbesar untuk karya saya tertuju kepada imajinasi, padahal tidak satu pun baris dalam semua karya saya yang tidak berpijak pada kenyataan.”
  7. Ingat bahwa setiap pengarang mempunyai gaya khas. Pakailah gaya sendiri, jangan meniru. Gunakan bahasa yang komunikatif. Hindari gaya berlebihan dan kata-kata yang terlalu muluk.
  8. Perhatikan setiap tanda baca dan aturan berbahasa yang baik, tetapi tetap tidak kaku. Jangan bosan untuk membaca dan mengedit ulang cerpen yang telah anda selesaikan.Akhirnya, saat Anda berniat menggoreskan pena menulis cerpen ingatlah pesan J.K. Rowling, siapa tahu ada manfaatnya.

Mulailah menulis apa saja yang kamu tahu.

Menulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri. Lalu saat menulis cerpen ingat pesan Edgar Allan Poe, agar cerpenmu berbobot, Dalam cerpen tak boleh ada satu kata pun yang terbuang percuma, harus punya fungsi, tujuan dalam komposisi keseluruhan.

Selamat menulis cerpen!

Sumber: Cerpenista