Tuesday, October 21, 2008

MENGAPA MENULIS CERITA PENDEK?

Senin, 29 September 2008 06:55:02 - oleh : prys

DARI MANAKAH SEBUAH KARYA sastra berasal? Apakah dari perasan imajinasi, kepekaan intusi, hasil observasi, atau cukup dari pengalaman penulisnya sendiri? Apa justru ia lahir tiba-tiba, ditulis tanpa aba-aba, tanpa syarat apa-apa layaknya sungai yang begitu saja mengalir?

Pertanyaan ini pernah saya ajukan ke beberapa rekan yang aktif menulis (khususnya puisi dan cerpen), dan masing-masing jawabannya berbeda satu sama lain. Disini saya tidak akan menuliskan satu persatu jawabannya, tapi saya akan coba merunutkannya dalam suatu kesimpulan sederhana berikut.

Mereka umumnya menggunakan pengalaman sendiri (bisa juga dialami orang lain atau curhat teman) menjadi tema cerita, saat apa yang mereka alami itu memiliki nilai/ kesan yang khas dalam hidupnya. Dari sini muncul hasrat (motif komunikasi) dalam diri mereka untuk menceritakan kembali pengalaman tersebut kepada orang lain.

Observasi (pengamatan) boleh jadi merupakan cara termudah menemukan bahan untuk diangkat ke dalam sebuah cerita. Lihatlah sekeliling dimana saja kita berada, betapa begitu banyak kehidupan dengan beragam latar belakang, profesi, berikut masing-masing problema yang dihadapi. Di rumah, di kampus, di jalanan, di pasar, di sudut-sudut gang, dan di semua tempat pasti punya kisahnya sendiri-sendiri.

Tentang intuisi, W.J.S Poerwadarminta mendefinisikannya sebagai gerak hati; daya batin untuk mengerti atau mengetahui sesuatu tidak dengan berpikir (tetapi dengan merasa). Intuisi adalah perasaan yang dibawa setiap manusia sejak lahir. Maka, semakin peka perasaan tersebut, semakin mudah pula kita terinspirasi oleh banyak hal.

Manusia juga dianugerahi daya khayal/ kemampuan berimajinasi. Hasilnya berupa fantasi dan gambaran (dalam angan-angan) tak langsung dari keadaan/ kejadian sebenarnya. Disini penulis berperan penting mengolah imajinasinya menjadi jalinan cerita yang akan ditulisnya.

5 Tahap Proses Kreatif
Tak berhenti sampai disitu, saya lalu mengajukan pertanyaan berikutnya ke rekan-rekan penulis tadi: “Bagaimana cara menulis cerita pendek? Bagaimana kita harus memulainya?”

“Wah.. Menulis ya menulis. Kalo ditanya gimana caranya, gue juga bingung mau jawab apa,” ujar seorang dari mereka.

“Kalo gue sih gak ada patokan dasar, tapi pasti masing-masing penulis akan menemukan caranya sendiri-sendiri, kok,” kata seorang lainnya.

Memang betul, masing-masing penulis punya caranya sendiri-sendiri. Sebab, menulis ya menulis. Tapi jawaban tersebut belumlah jawaban yang memuaskan. Hingga akhirnya saya coba merunutkan kembali kemungkinan jawaban yang mungkin ada.

Menulis merupakan suatu proses melahirkan tulisan yang berisi gagasan. Ada yang melakukannya secara spontan, ada juga yang perlu menyusun kerangka tulisannya terlebih dulu. Kebiasaan dan potensi setiap orang memang tidak sama. Tapi pada umumnya, ada 5 tahap proses kreatif yang dihadapi penulis.

Tahap pertama, adalah persiapan. Munculnya gagasan/ ide tentang isi tulisan adalah pemicu awal dalam proses kreatif menulis. Dalam tahap ini seorang penulis telah menyadari apa yang akan dia tulis. Tinggal bagaimana menuangkan gagasan tersebut apakah dalam bentuk tulisan artikel, essai, cerpen, atau dalam bentuk lainnya.

Kedua, tahap inkubasi/ masa pengendapan. Gagasan yang muncul tadi, kini disimpan matang-matang. Hingga muncul anak-anak gagasan baru; ada yang bagus ada yang tidak, ada yang memperkaya dan yang menambah kedalaman gagasan semula. Penulis harus membiarkan ide/ gagasan itu terbentuk di bawah sadarnya, sampai tiba saatnya ‘hamil besar’ dan gagasan itu siap dilahirkan lewat tulisan.

Ketiga, saat inspirasi. Inilah saat yang disebut ‘Eureka’, yakni saat tiba=tiba seluruh gagasan tersebut menemukan bentuk idealnya. Ada desakan kuat untuk segera menulis dan tak bisa ditunggu-tunggu lagi. Inilah saat bagi gagasan di bawah sadar sudah mendepak-depakkan kakinya ingin dilahirkan.

Keempat, tahap penulisan. Pada tahap ini segala hasil inkubasi dan inspirasi tumpah dalam bentuk kata tertulis. Semuanya berjejalan ingin segera dituliskan. Jangan pikirkan mengontrol diri dulu. Jangan menilai mutu tulisan dahulu. Rasio belum boleh bekerja. Yang penting dituangkan saja semua. Sebab, hasilnya masih suatu karya kasar (draft).

Tahap terakhir, tahap revisi. Draft tersebut kemudian kembali dibaca, lalu diperiksa dan dinilai sendiri berdasarkan pengetahuan dan apresiasi yang dimiliki. Disinilah disiplin diri sebagai penulis diuji. Ia harus mau mengulangi menuliskannya kembali, hingga didapat bentuk tulisan terakhir yang dirasa telah mantap mendekati bentuk idealnya.

Kelima tahap inilah yang kemudian meyakini saya bahwa cara terbaik untuk menulis karya cerpen adalah dengan mulai menuliskannya. Jangan sekedar mulai mencoba, tapi lakukan juga secara nyata. Dan saya tidak sedang menggampangkan sesuatu hal disini, tapi saya ingin ketika suatu saat kita ditanyai ‘mengapa menulis cerpen?’, maka jawaban yang keluar dari mulut adalah MENGAPA TIDAK?!!

Pry S., 26 tahun, jurnalis, kini tinggal dan bekerja di Bogor
http://prys3107.blogspot.com

No comments: