Monday, October 20, 2008

Mengembangkan Ide Menulis Cerita Pendek

MENGEMBANGKAN IDE BAGI CERITA PENDEK*

Oleh Ahmadun Yosi Herfanda

Kegiatan menulis, atau mencipta karya sastra, dimulai dari adanya ide. Begitu pula dalam menulis cerita pendek (cerpen). Ide adalah gagasan dasar yang menjadi landasan tematik bagi penulisan cerpen. Tema menjadi semacam benang merah yang merangkai unsur-unsur cerita, sejak alur, plot, sampai penokohan dan karakterisasi tokoh-tokohnya, menjadi sebuah cerpen yang seutuhnya.

Alur adalah pergerakan cerita dari waktu ke waktu. Ada alur progresif (runtut), ada kilas balik (flash back), dan ada percampuran antar keduanya. Alur dibangun oleh narasi, deskripsi, dialog, dan aksi/laku (action). Narasi adalah pelukisan yang dinamis, penggambaran gerak (action) tokoh-tokohnya, serta pergerakan benda-benda yang menjadi penyebab atau akibat aksi para tokoh cerita. Deskripsi adalah pelukisan suasana yang statis, cenderung tetap, seperti suasana kamar yang berantakan, atau bangunan yang luluh lantak oleh bom. Dialog adalah kata-kata yang diucapkan oleh tokoh-tokoh cerita. Ada dialog lahir (terucapkan), ada dialog batin (tidak terucapkan). Sedangkan laku/aksi adalah aktivitas fisik, gerakan anggota badan, dan perbuatan tokoh-tokoh cerita.

Berbeda dengan alur, plot adalah rangkaian sebab-akibat yang memicu krisis dan menggerakkan cerita menuju klimaks. Di dalam alur ada plot. Tapi plot bukanlah alur. Ibarat tubuh, alur adalah fisiknya, dan plot adalah ruh atau ‘kekuatan dinamis’ yang penuh gairah membangun konflik, atau mesin yang menggerakkan cerita ke arah klimaks dan ending. Di dalam plot inilah persoalan-persoalan yang dihadapi para tokoh cerita saling digesekkan, dibenturkan satu sama lain menjadi persoalan baru yang lebih kompleks, diseret ke puncak krisis, lalu dicari pemecahan (penyelesaian)-nya menuju akhir cerita (ending). Di sinilah kecerdasan dan kearifan pengarang ‘diuji’ oleh persoalan yang diciptakannya sendiri, apakah ia mampu menemukan solusi yang cerdas dan arif sehingga karyanya mampu memberika sesuatu (something) kepada pembacanya.

Sedangkan penokohan adalah penciptaan tokoh-tokoh cerita yang dibutuhkan oleh tema dan plot. Contoh sederhananya: untuk tema cinta yang berakhir bahagia, misalnya, cukup dibutuhkan sepasang kekasih dan orang tua yang akhirnya merestui hubungan mereka. Tapi, untuk kisah cinta yang tragis, perlu diciptakan tokoh antagonis, yang membuat hubungan sepasang kekasih itu terbentur-bentur, mengalami krisis, dan berakhir getir. Di sinilah diperlukan apa yang disebut karakterisasi, yakni penciptaan karakter tiap tokoh cerita, agar mereka bisa menggerakkan plot. Karakter tiap tokoh digambarkan melalui narasi, deskripsi, dan dialog. Semakin tajam perbedaan karakter antar-tokoh cerita, akan makin tajam konflik yang terjadi, dan plot akan gampang bergerak ke arah krisis untuk menuju klimaks. Plot menjadi kental, penuh ketegangan (suspense), sehingga cerita tidak bergerak datar tapi dinamis.

Pengembangan ide dengan teknik dan unsur-unsur cerita seperti di atas lazim dipakai pada fiksi-fiksi realistik, yang masih meperhatikan pentingnya unsur-unsur cerita secara lengkap, serta mengenal runtutan cerita (alur) sejak pemaparan, krisis, klimaks dan ending. Kemampuan untuk mengolah tema melalui unsur-unsur dan teknik bercerita itulah yang menjadi kekuatan utama fiksi realistik. Namun, jenis-jenis fiksi simbolik, surealis, atau mosaik, sering tidak lagi memperhatikan kelengkapan unsur-unsur cerita tersebut, dan mencoba menggantikan kekuatan cerita itu dengan kekuatan lain, seperti kekuatan simbol (Danarto), teror logika (Putu Wijaya), keunikan imajinasi (Seno Gumira Adjidarma), atau pemberontakan estetik-tematik (Ayu Utami).
***
Jika ingin kreatif dan produktif, seorang pengarang cerpen (cerpenis) harus aktif, menggali, memburu dan menangkap bersitan ide cerita, yang sering disebut sebagai ‘ilham’ atau inspirasi. Inilah yang dilakukan oleh pengarang-pengarang ternama yang produktif, seperti Putu Wijaya, Emha Ainun Najid, dan Seno Gumira Ajidarma. Putu Wijaya bahkan pernah menyarankan, kalau perlu ‘perkosalah’ dirimu sendiri untuk kreatif dan produktif dalam mengarang.

Penyair Abdul Hadi WM pernah memberi saran kepada para pemula, ‘’menulis dan mulai menulislah, meski tidak ada ‘ilham’ di kepalamu. Ilham akan hadir atau mengalir saat engkau mencoretkan pena di atas kertasmu.’’ Dengan cara itu pula Putu Wijaya memperkosa dirinya sendiri, memaksa diri menulis dan terus menulis.

Jadi, sumber ilham sebenarnya ada dalam diri pengarang sendiri. Ia akan hadir dan mengalir manakala pena sang pengarang tajam menyentuhnya. Ia akan memancar manakala sang pengarang mau bekerja keras menggalinya, layaknya seorang penggali sumur yang memburu ‘mata air’ yang akan terus mengalir. Cara terbaiknya adalah dengan menulis itu sendiri.

Pengalaman hidup pengarang, penghayatan religiusitasnya, kekayaan intelektualnya, pengalaman beribadahnya, penderitaannya, kerinduannya pada sang kekasih, kesepiannya, kejengkelannya pada dunia di sekitarnya, kepekaan sosial dan politiknya, pandangan kritisnya terhadap tradisi dan modernitas, serta apa saja yang bergejolak di dalam diri sang pengarang serta reaksi batinnya terhadap berbagai fenomena di lingkungan sekitarnya, adalah lahan-lahan subur bagi lahirnya seorang bayi bernama ide cerita. Di lahan-lahan itulah sang ilham, inspirasi, atau ide cerita, biasa menggeliat atau melintas. Tinggal bagaimana kecekatan sang pengarang untuk menangkap dan mengolahnya menjadi karya sastra.

Tentu, sumber ilham juga bertebaran di lingkungan sekitar pengarang, di kampus, di balaikota, di hotal, di pasar, di masjid, perpustakaan, di dapur, di tempat tidur, warung kopi, di gang-gang kumuh, di trotoar-tortoar pertokoan, di persawahan, di kampung, di taman bunga, di pinggir kali, di panas terik pantai, di dalam kabut dingin pegunungan, di dalam gerbong kereta api, di dek kapal penumpang, kepadatan bus kota, dan di tengah kemacetan lalu lintas sekalipun.
Dari tebaran sumber ilham itu, yang diperlukan adalah kepekaan sang pengarang untuk menangkap isyarat-isyarat kreatif yang dilihatnya dan kemampuan imajinasinya untuk merekayasa serangkaian cerita, atau mata rantai imajinasi, dari isyarat-isyarat tersebut.

Di kalangan penyair, isyarat itu biasa disebut sebagai sentuhan puitik (poetical touch), sedangkan di kalangan penulis fiksi biasa disebut sebagai sentuhan imaji (imagical touch).
Melihat sekuntum mawar mekar sendiri di tengah padang rumput, bagi penyair mungkin akan membangkitkan perasaan sendiri, sunyi. Sang mawar hadir sebagai simbol kesendirian, dan ia mengingatkannya pada eksistensi manusia yang terasing di tengah hirup pikuk kehidupan. Tapi, ia bisa juga hadir sebagai simbol cinta yang membara, dan dengan itu penyair ingin mengungkapkan kata-kata cintanya pada sang kekasih.

Dari dua kemungkinan simbolik itu lalu tersusunlah kata-kata puitis, dengan kesendirian sang mawar sebagai pusat pencitraannya. Sedangkan bagi cerpenis, bunga mawar itu bisa juga menghadirkan bersitan kisah cinta yang tragis. Misalnya, pada suatu musim, mawar tiba-tiba menjadi bunga yang langka. Berhari-hari seseorang mencari mawar itu untuk menyatakan cintanya pada sang kekasih, dan ketika ia menemukan mawar itu di tepi padang rumput, serta membawanya kepada sang kekasih, ternyata ia telah meninggal tertembak polisi saat ikut berdemonstrasi. Maka, fenomena alam itu, tidak hanya bisa diseret ke persoalan cinta yang romantik, tapi juga persoalan politik yang galau. Dari imajinasi dan bersitan ide cerita yang mengembang dari sekuntum mawar seperti itu saya melahirkan cerpen Mawar Biru bagi Novia, yang dimuat di Tabloid Nova dan kumpulan cerpen Badai Laut Biru (Senayan Abadi, Jakarta, 2005).

Melihat rumputan rubuh bersama ditiup angin secara periodik, seorang penyair dapat saja menangkap gerak puitis itu sebagai gerak rukuk atau sujud dalam shalat berjamaah. Maka, ia menangkap fenomena alam itu sebagai simbol religiusitas, simbol kepatuhan kepada Al Khalik. Dari sentuhan fenomena alam itulah saya, pada tahun 1995, menulis sajak Sembahyang Rumputan yang cukup terkenal itu. Tetapi, seorang cerpenis bisa saja mengimajinasikan di tengah rumput itu sedang terjadi adegan percintaan, atau mayat yang terkapar akibat pembunuhan, dan dari situ terekayasalah sejak kisah roman sampai tragedi. Saat menulis novel
Perempuan Jakarta, misalnya, Korrie Layun Rampan cukup memulainya dari pemandangan mayat perempuan yang terkapar di tengah semak-semak.

Melihat seorang gelandangan berkaki satu terkapar di depan toko Cina, seorang pengarang dapat saja membayangkan bahwa gelandangan itu adalah mantan pejuang revolusi kemerdekaan yang kakinya tertembak oleh serdadu Belanda. Maka, mengalirlah kisah mantan pejuang yang tersia-sia akibat ketidakbecusan pemerintah pengurus para veterannya. Melihat sebungkus nasi terinjak-injak berantakan di tengah jalan, seorang pengarang dapat juga mengimajinasikan bahwa nasi itu sebenarnya akan dikirim kepada seorang demonstran yang kelaparan dan terkurung di tengah barikade tentara, tapi ketika nasi itu sampai sang demonstran keburu ‘diamankan’ dan nasi itu tertinggal dan terinjak-injak oleh sepatu tentara.

Begitulah. Dari pemandangan apapun, bahkan dari benda macam apapun, sejak dari fenomena alam sampai fenomena sosial-politik, dapat mengalir kisah-kisah yang menarik dan bermakna bagi pembaca. Semua itu, tentu juga kehidupan itu sendiri, adalah sumber ilham yang tiada habis-habisnya untuk digali. Dari sanalah, berbagai kemungkinan puitik (poetical alternation), dan berbagai kemungkinan cerita (storical alternation) dapat hadir dan dikembangkan menjadi suatu karya sastra yang bermakna.

Tentu, agar susunan kata-kata puitis (puisi) dan kisah-kisah fiktif (cerpen/novel) itu menjadi lebih bermakna, perlu diberi sentuhan filsafat, moral, agama, atau ajaran-ajaran kibajakan lainnya. Agar sentuhan itu dapat hadir sebagai pencerah sekaligus pemerkaya batin pembaca, sang pengarang pun harus banyak membaca. Ia harus menjadi cendekiawan yang terus meneteskan kearifan, kebijakan dan makna hidup bagi pembacanya.

Karya sastra yang baik, menurut Sutardji Calzoum Bachri, adalah yang memberikan sesuatu (something) kepada pembacanya. Sesuatu itu adalah ‘kearifan hidup yang teraktualisasikan’ yang membuat pembaca sulit melupakannya, karena kesannya yang begitu mendalam. Dan, agar kisah-kisah fiktif itu menarik, pengarang perlu menguasai teknik-teknik bercerita secara baik, sejak penyusunan alur, narasi, deskripsi, dialog, sampai penokohan, karakterisasi dan plotting.
***

Satu hal yang harus disadari oleh pengarang – terutama pengarang cerita pendek – adalah bahwa dunia di dalam karya sastra adalah dunia rekaan, dan karena itu, cerpen maupun novel, biasa disebut sebagai fiksi (fiction). Ia berbeda dengan berita yang memang harus ditulis berdasarkan fakta, atau artikel ilmiah populer yang selalu dituntut memiliki argumen yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Fiksi – meskipun sering memperlihatkan hubungan yang jelas dengan realitas faktual dan sering pula menyimpan kandungan sejarah, ilmu dan filsafat -- bebas dari tuntutan pertanggungjawaban ilmiah tersebut.

Memang bisa saja karya sastra diangkat dari kisah nyata, dari peristiwa sejarah, dari hasil penelitian, bahkan dari hasil kerja jurlialistik, seperti cerpen-cerpen jurnalistiknya Seno Gumira Ajidarma. Tetapi, seorang cerpenis maupun novelis, juga penyair, tidak terikat oleh realitas faktual itu. Ia bebas menciptakan dunia rekaannya sendiri dari realitas keseharian yang ditemukannya. Seperti dikatakan Umar Junus dalam Dari Peristiwa ke Imajinasi, realitas yang ada di dalam karya sastra adalah realitas imajinatif, realitas yang sudah mengalami rekayasa ulang menjadi ‘realitas baru’ khas pengarang.

Jika bagi seorang wartawan yang dibutuhkan adalah kecermatannya dalam mencatat serta merekonstruksi realitas faktual ke dalam tulisannya, maka bagi seorang cerpenis dan novelis yang diperlukan justru kekuatan dan kebebasan imajinasinya untuk mengembara secara liar ke berbagai kemungkinan di balik realitas faktual itu. Peraih Nobel Sastra, Tonni Morrison, pernah menasihatkan, bebaskanlah imajinasimu mengembara secara liar ke dalam ‘dunia gelap’ di balik realitas yang kasat mata.

Meskipun begitu, seorang pengarang tetap dituntut untuk dapat mengelola keliaran imajinasinya sesuai dengan kebutuhan tipologi tulisan yang dipilihnya. Untuk menulis cerpen, tentu, seorang pengarang harus membatasi diri pada fokus cerita yang dipilih dan tidak bisa berpanjang-panjang. Sementara untuk novel, eksplorasi kebebasan imajinasi itu terbuka secara lebar.
***

Jakarta, 18 Januari 2005

*) Penulis adalah Redaktur Budaya Republika. Novel-novel dan kumpulan puisinya sudah banyak diterbitkan.*) Dibacakan di "bengkel cerpen" Ode Kampung Rumah Dunia, Sabtu, 4 Feb 2006*) Para relawan; Deden, Oji, Ibnu, berpose di depan mess mereka di Rumah Dunia. Setiap hari mereka banyak mendapatkan ide dari peristiwa di Rumah Dunia. (foto Qizink)
[RumahDunia.Net]